Wednesday, September 26, 2007
Jogja 25.09.07

Hujan emas di negeri orang, Hujan batu di negeri sendiri

Kayaknya peribahasa diatas udah gak berlaku lagi saat ini. Sementara gonjang ganjing racism masih ada ditambah dengan situasi politik Indonesia yang belum ada perubahan yang signifikan dibawah komando sang melankolis SBY.

Well gimanapun, betapapun aku ini adalah tetep anak bangsa. Lahir, sekolah, kerja, makan, tidur, semuanya dilakukan di negaraku Indonesia yang menurutku adalah surgawi semua hal. Contohnya, ketika gue perlu sapu lantai sejak sebulan lalu yang nggak pernah kesampean karena gimanapun juga gak mungkin dong gue beli sapu lantai satu biji dari carefour, alhasil karena bukan suatu kebutuhan yang mendesak ya selalu kelupaan lah kalo ke pasar ato belanja kebutuhan sehari-hari, sampai hari ini tiba dan dia diantar langsung ke depan pintu rumah gue.

Seorang bapak bapak berbadan kecil, item, keriput lewat depan rumah gue dengan gerobak dorongnya yang penuh dengan aneka kebutuhan alat kebersihan. “Ini yang gue perlu” kata gue dalam hati sembari gue matiin Mio gue yang udah ready-to-go.

DJ : “Sapu-nya berapa duit pak?”

Bapak : ”10 ribu nak”

DJ : ”Mahal betul pak, 7,000 dikasih gak”

Bapak : “Belum dapat nak, bapak juga ambil untung dikit aja, 8,000 saja boleh” (dalam Bahasa Indonesia yang dipaksakan

DJ : “Ya udah pak saya ambil yang ini” (gue ambil 1 sapu yang terbagus dari yang ada), sambil gue kasih 20 ribuan.

Bapak : “Wah uang kecil aja nak bapak baru keluar, belum dapat uang”. (sambil rogoh kiri kanan saku)

DJ : “Deg!” uluhati gue sekali lagi serasa ada yang nonjok

DJ : “Ya udah bapak ambil aja, Gak papa koq pak” Gue balik badan dan langsung simpan sapu kedalam rumah dan kembali ke Moi gue yang sudah ready to go, secara si bapak masih halangi gerbang jalan keluar motor gue.

Si bapak sedikit mendorong gerobak dagangannya, sehingga gue bisa keluar dan mengunci gerbang rumah. ”Mari pak ” hanya itu yang keluar dari mulut gue sambil gue gas Mio gue yang notabene dah telat 5 menit ke kantor.

Sementara si bapak masih terbengong, bengong ngeliatin gue sampe gue terakhir liat dari kaca spion dia masih tetep mematung memegangi selembar 20.000 an yang tadi dari gue.


Carrefour ***************VS ***********Gerobak Cleaning Supply

Min 1 jam belanja ***************VS ***********Waktu belanja Cuma 5 menit

Parkir Rp. 1.500 ***************VS ***********Free Parking

Terlalu banyak items ***************VS ***********Basic cleaning supply

Harga 10.000 – diatas100.000 ***************VS ***********Harga 2.000 – 10.000

Impersonal ***************VS ***********Personal Service

AC ***************VS ***********Angin + Sinar Mentari (sehat)

Terima Kartu Kredit ***************VS ***********Terima Kredit (Nyicil) asal dan kenal

Belanja pake baju bagus ***************VS ***********Pake daster jadi aja tuh

Suka kebablasan beli yang gak perlu ***************VS ***********Belanja seperlunya saja


dj, nggak mau pindah keluar negeri

Tuesday, September 25, 2007













Who said girls are needed in entertainment business when guys can be girls!

I’m not yet talking about the cross gender on stage performance, but look at me and another girls you know which one is me right? The event took place in some charity event in conjunction with the school inauguration. Coz, this short drama required some girls which that time no girls wanted to take part in the scene so, I volunteered myself to become girl followed by 2 another boys, and voila…!


dj, najis lo

Sunday, September 23, 2007

Ide:

Judul : Mengirit Pemakaian Detergen

Dur : 30 detik

Scene1 : Side A and Side B celana dalam dengan jelas ditulisin kaya gini

Side-A Senin

Side-B Selasa

Dan seterusnya

Jadi dalam seminggu cuma pake 3 celana dalam, dan hari minggu gak usah pake daleman, biarkan area yang sering dicuci dan jarang dijemur serta gak pernah disetrika itu diangin angin supaya gak tumbuh jamur, eeeeuuuw!

Scene2 : Air bilasan disiramkan ke tanaman apotik hidup yang bergelantungan di teras rumah sempit dan sumpek di gang gang kota besar.

Message:

Selain hemat detergen juga hemat tenaga dan waktu serta bakteri yang dihasilkan celana dalam kotor tersebut hanya berpindah ke air bilasan yang selanjutnya dikonsumsi tumbuhan apotik hidup.


__._,_.___

dj, so environmental friendly

Friday, September 21, 2007

Jogja 21.09.07

The greatest Love of all..is the love for one self..cinta pada diri kita sendiri + TUHAN (kalo lo punya Tuhan)

Mencintai dan dicintai temen temen deket kayaknya itu deh yang gak pernah menoreh luka dalam sehingga meski kadang tergores sedikit gampang ngobatinnya. Gosssh….. finally, thanks to my-self yang memang meski dapat julukan keagungan “self-center” justru disini kali hebatnya gue sehingga tidak cengeng dan selalu “gay” (red. Baca arti gay di kamus oxford, artinya orang yang selalu riang) heu heu heu


So,

Ketika morfin itu sudah susah aku temukan lagi bandarnya.

Ketika aku sudah terbiasa dengan kondisi sakaw-ku dan pelan-pelan toxin psikotropika itu keluar sendirinya dari sel darahku bersama bulir bulir keringat yang keluar dari setiap pori pori kulitku saat aku menjerit “sakit”.

Ketika madat yang kau jejalkan ke tenggorokanku sudah tidak aku nikmati lagi

Ketika lading opium terbakar dan hangus disapu angin selatan menguap tak berbekas.

Justru aku menikmatinya,

Menikmati kalo aku masih hidup

Menikmati kalo aku tak ketergantungan kepadamu

Menikmati kalo aku mempunyai darah segar yang aku bisa sumbangkan setetes demi kehidupan orang lain

Menikmati kalo aku menemukan kembali ke diriku sebagai aku yang dulu

Menikmati kalo aku lebih hidup dengan kesendiririan, tanpa beban dan fikiran


dj, I-Love-Myself

Puasa Day 8+

Mungkin temen2 kalo ngeliat posting dibawah akan boring, cubit kuping gue kalo nggak! Lha wong gue juga emang boring, tapi itulah memang kalo baca sesuatu yang menjadi santapan bathin meski kaya gini ya, hiks! Padahal kalo ada postingan yang nyerempet libido “eeeeuuuuwww” pasti langsung seger meski di bulan puasa juga.

Gimana ya si Iman sih kayaknya bisa kuat lah si Amin aku gak bisa jamin eh…. Halah !

So, katakanlah gue lagi bleaching jari-jari gue yang selalu membuat “multi level” dosa ke orang orang hanya dengan satu sentuhan mouse « click » yang tersebar ke semua penjuru dunia dengan konten yang menyesatkan saja. Sempet gak sih kalian berfikir gitu ? Multi Level Maksiat (red. Dosa).

Yaah, semoga dengan postingan ini meski terkesan hanya copy and paste semoga aja niat baik gue bisa diterima sama kalian, sebelum diterima amalan gue oleh Allah, dan gue melakukannya ikhlas koq. Berdakwah juga kan sekarang gak mesti di mesjid, di blog juga bisa. Dan dalam hal ini gue hanya baru bisa copy and paste aja kalo masalah yang satu ini, kalo kalian berkenan please geser kursormu kebawah kalo tidak Ctrl+W aja dan escape dari thread yang ini dan lanjutkan kesenanganmu.

Dj, punten nya A

Disadur dari buku :
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam
Jl. Blora 29, Jakarta
Oktober 1981

BAB VII

KHALIFAH UMAR IBNUL KHATTAB R.A.

Di samping ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, Umar Ibnul Khattab r.a. terkenal sebagai orang yang bertabiat keras, tegas, terus terang dan jujur. Sama halnya seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., sejak memeluk Islam ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan Islam dan muslimin. Baginya tak ada kepentingan yang lebih tinggi dan harus dilaksanakan selain perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kekuatan fisik dan mentalnya, ketegasan sikap dan keadilan-nya, ditambah lagi dengan keberaniannya bertindak, membuat-nya menjadi seorang tokoh dan pemimpin yang sangat dihormati dan disegani, baik oleh lawan maupun kawan. Sesuai dengan tau-ladan yang diberikan Rasul Allah s.a.w., ia hidup sederhana dan sangat besar perhatiannya kepada kaum sengsara, terutama mereka yang diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain.

Bila Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menjadi Khalifah melalui pemilihan kaum muslimin, maka Umar Ibnul Khattab r.a. dibai'at sebagai Khalifah berdasarkan pencalonan yang diajukan oleh Abu Bakar r.a. beberapa saat sebelum wafat. Masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab r.a. berlangsung selama kurang lebih 10 ta-hun.

Sukses dan Tantangan

Di bawah pemerintahannya wilayah kaum muslimin bertam-bah luas dengan kecepatan luar biasa. Seluruh Persia jatuh ke tangan kaum muslimin. Sedangkan daerah-daerah kekuasaan By-zantium, seluruh daerah Syam dan Mesir, satu persatu bernaung di bawah bendera tauhid. Penduduk di daerah-daerah luar Semenan-jung Arabia berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian lslam bukan lagi hanya dipeluk bangsa Arab saja, tetapi sudah rnenjadi agama berbagai bangsa.

Sukses gilang-gemilang yang tercapai tak dapat dipisahkan dari peranan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebagai pemimpin. Ia banyak mengambil
prakarsa dalam mengatur administrasi pemerintahan sesuai dengan tuntutan keadaan yang sudah ber-kembang. Demikian pula di bidang hukum. Dengan berpegang te-guh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, dan dengan memanfaat-kan ilmu-ilmu yang dimiliki para sahabat Nabi Muhammad s.a.w., khususnya Imam Ali r.a., sebagai Khalifah ia berhasil men-fatwakan bermacam-macam jenis hukum pidana dan perdata, disamping hukum-hukum yang bersangkutan dengan pelaksanaan peribadatan.

Tetapi bersamaan dengan datangnya berbagai sukses, seka-rang kaum rnuslimin sendiri mulai dihadapkan kepada kehidupan baru yang penuh dengan tantangan-tantangan. Dengan adanya wilayah Islam yang bertambah luas, dengan banyaknya daerah--daerah subur yang kini menjadi daerah kaum muslimin, serta dengan kekayaan yang ditinggalkan oleh bekas-bekas penguasa lama (Byzantium dan Persia), kaum muslimin Arab mulai berke-nalan dengan kenikmatan hidup keduniawian.

Hanya mata orang yang teguh iman sajalah yang tidak silau melihat istana-istana indah, kota-kota gemerlapan, ladang-ladang subur menghijau dan emas perak intan-berlian berkilauan. Kaum muslimin Arab sudah biasa menghadapi tantangan fisik dari musuh-musuh Islam yang hendak mencoba menghancurkan mereka, tetapi kali ini tantangan yang harus dihadapi jauh lebih berat, yaitu tantangan nafsu syaitan, yang tiap saat menggelitik dari kiri-kanan, muka-belakang.

Tantangan berat itulah yang mau tidak mau harus ditanggu-langi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Berkat ketegasan sikap, kejujuran dan keadilannya, dan dengan dukungan para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang tetap patuh pada tauladan beliau, Khalifah Umar r.a. berhasil menekan dan membatasi sekecil--kecilnya penyelewengan yang dilakukan oleh sementara tokoh kaum muslimin. Pintu-pintu korupsi ditutup sedemikian rapat dan kuatnya. Tindakan tegas dan keras, cepat pula diambil terha-dap oknum-oknum yang bertindak tidak jujur terhadap kekayaan negara. Sudah tentu ia memperoleh dukungan yang kuat dari se-mua kaum muslimin yang jujur, sedangkan oknum-oknum yang berusaha keras memperkaya diri sendiri, keluarga dan golongannya, pasti melawan dan memusuhinya.

Selama berada di bawah pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., musuh-musuh kaum muslimin memang tidak dapat berkutik. Namun bahaya latent yang berupa rayuan kesenangan hidup duniawi, tetap tumbuh dari sela-sela ketatnya pengawasan Khalifah.

Dalam menghadapi tantangan yang sangat berat itu, Khalifah Umar r.a. tidak sedikit menerima bantuan dari Imam Ali r.a. Dalam masa yang penuh dengan tantangan mental dan spiritual itu, Imam Ali r.a. menunjukkan perhatiannya yang dalam.

Dengan segenap kemampuan dan kekuatannya, Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. bersama para sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w., berusaha keras mengendalikan situasi yang hampir melun-cur ke arah negatif.

Umar r.a. sering berkeliling tanpa diketahui orang untuk me-ngetahui kehidupan rakyat, terutama mereka yang hidup sengsara. Dengan pundaknya sendiri, ia memikul gandum yang hendak di-berikan sebagai bantuan kepada seorang janda yang sedang dita-ngisi oleh anak-anaknya yang kelaparan.

Jika Umar r.a. mengeluarkan peraturan baru, anggota-anggota keluarganya justru yang dikumpulkannya lebih dulu. Ia minta su-paya semua anggota keluarganya menjadi contoh dalam melaksa-nakan peraturan baru itu. Apabila di antara mereka ada yang mela-kukan pelanggaran, maka hukuman yang dijatuhkan kepada mere-ka pasti lebih berat daripada kalau pelanggaran itu dilakukan oleh orang lain.

Dengan kekhalifahannya. itu, Umar Ibnul Khattab r.a. telah menanamkan kesan yang sangat mendalam di kalangan kaum mus-limin. Ia dikenang sebagai seorang pemimpin yang patut dicontoh dalam mengembangkan keadilan. Ia sanggup dan rela menempuh cara hidup yang tak ada bedanya dengan cara hidup rakyat jelata. Waktu terjadi paceklik berat, sehingga rakyat hanya makan roti kering, ia menolak diberi samin oleh seorang yang tidak tega me-lihatnya makan roti tanpa disertai apa-apa. Ketika itu ia menga-takan: "Kalau rakyat hanya bisa makan roti kering saja, aku yang bertanggung jawab atas nasib mereka pun harus berbuat seperti itu juga."

Memanggil calon pengganti

Kepemimpinan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. atas ummat Islam benar-benar memberikan ciri khusus kepada pertumbuhan Islam. Sumbangan yang diberikan bagi kemantapan hidup ke-negaraan dan kemasyarakatan ummat, sungguh tidak kecil.

Umar Ibnul Khattab r.a. wafat, setelah menderita sakit parah akibat luka-luka tikaman senjata tajam yang dilakukan secara gelap oleh seorang majusi bernama Abu Lu'lu-ah. Dalam keadaan kritis di atas pembaringan pemimpin ummat Islam ini masih sem-pat meletakkan dasar prosedur bagi pemilihan Khalifah pengganti-nya. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas kesinambungan ke-pemimpinan ummat Islam masih tetap merisaukan hatinya, walaupun maut sudah berada di ambang kehidupannya.

Dalam saat yang gawat itulah ia meminta pendapat para pe-nasehatnya yang dalam catatan sejarah terkenal dengan sebutan "Ahlu Syuro", tentang siapa yang layak menduduki atau meme-gang pimpinan tertinggi ummat Islam.

Umar Ibnul Khattab r.a. memang terkenal sebagai tokoh besar yang memiliki jiwa kerakyatan. Sehingga ketika di antara penase-hatnya ada yang mengusulkan supaya Abdullah bin Umar, pu-tera sulungnya, ditetapkan sebagai Khalifah pengganti, dengan cepat Umar r.a menolak. Ia mengatakan: "Tak seorang pun dari dua orang anak lelakiku yang bakal meneruskan tugas itu. Cukuplah sudah apa yang sudah dibebankan kepadaku. Cukup Umar saja yang menanggung resiko. Tidak. Aku tidak sanggup lagi memikul tugas itu, baik hidup ataupun mati!" Demikian kata Umar r.a. dengan suara berpacu mengejar tarikan nafas yang berat.

Sehabis mengucapkan kata-kata seperti di atas, Umar r.a. lalu mengungkapkan, bahwa sebelum wafat, Rasul Allah s.a.w. telah merestui 6 orang sahabat dari kalangan Qureiys. Yaitu Ali bin Abi Thalib, 'Utsman bin Affan, Thalhah bin 'Ubaidillah, Zubair bin Al 'Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin 'Auf. "Aku berpendapat", kata Umar r.a. lebih jauh, "sebaiknya kuse-rahkan kepada mereka sendiri supaya berunding, siapa di antara mereka yang akan dipilih."

Kemudian seperti berkata kepada diri sendiri, ia berucap: "Jika aku menunjuk siapa orangnya yang akan menggantikan aku, hal seperti itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku, yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Kalau aku tidak menunjuk siapa pun, hal itu pun pernah dilakukan oleh orang yang lebih afdhal daripada diriku, yakni Nabi Muhammad s.a.w."

Tanpa menunggu tanggapan orang yang ada disekitarnya, Kha-lifah Umar r.a. kemudian memerintahkan supaya ke-enam orang (Ahlu Syuro) tersebut di atas segera dipanggil.

Kondisi fisik Khalifah Umar r.a. yang terbaring tak berdaya itu, tampak bertambah gawat pada saat keenam orang yang di-panggil itu tiba. Ketika
ia melihat ke-enam orang itu sudah penuh harap menantikan apa yang bakal diamanatkan, dengan sisa-sisa tenaganya Khalifah Umar r.a. berusaha memperlihatkan kete-nangan. Tiba-tiba ia melontarkan suatu pertanyaan yang sukar dijawab oleh enam orang sahabatnya. "Apakah kalian ingin meng-gantikan aku setelah aku meninggal?"

Tentu saja pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba dan sukar dijawab itu sangat mengejutkan semua yang hadir. Mula-mu-la mereka diam, tertegun. Dan ketika Khalifah Umar r.a. menatap wajah mereka satu persatu, masing-masing menunduk tercekam berbagai perasaan. Di satu fihak tentunya mereka itu sangat se-dih melihat pemimpin mereka dalam kondisi fisik yang begitu me-rosot. Tetapi di fihak lain, mereka bingung tidak tahu kemana arah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang yang arif dan bijaksana itu. Karena tak ada yang menjawab, Khalifah Umar r.a. mengu-langi lagi pertanyaannya.

Setelah itu barulah Zubair bin Al-'Awwam menanggapi. Ia menjawab: "Anda telah menduduki jabatan itu dan telah melaksa-nakan kewajiban dengan baik. Dalam qabilah Qureiys sebenarnya kami ini menempati kedudukan yang tidak lebih rendah diban-ding dengan anda. Sedangkan dari segi keislaman dan hubungan kekerabatan dengan Rasul Allah s.a.w., kami pun tidak berada di bawah anda. Lalu, apa yang menghalangi kami untuk memikul tugas itu?"

Tampaknya kata-kata yang ketus itu dilontarkan Zubair kare-na menyadari bahwa tokoh yang berbaring di hadapannya itu su-dah dalam keadaan sangat gawat. Hal itu dapat kita ketahui dari komentar sejarah yang dikemukakan oleh seorang penulis terkenal, Syeikh Abu Utsman Al Jahidz. Ia mengatakan: "Jika Zubair tahu bahwa Khalifah Umar r.a. akan segera wafat di depan matanya, pasti ia tidak akan melontarkan kata-kata seperti itu, dan bahkan tidak akan berani mengucapkan sepatah kata pun."

Kata-kata Zubair bin Al 'Awwam itu tidak langsung ditang-gapi oleh Khalifah Umar r.a. Seakan-akan kata-kata itu tak pernah didengarnya. Dengan tersendat-sendat Khalifah Umar r.a. melan-jutkan perkataannya: "Bisakah kuajukan kepada kalian peni-laianku tentang diri kalian?"

Kembali Zubair menukas dengan nada sinis: "Katakan saja. Tokh kalau kami minta supaya kami dibiarkan, anda akan tetap tidak membiarkan kami!"


Penilaian

Kata-kata Zubair ini tampaknya sangat menyakitkan telinga Khalifah Umar r.a. yang sabar itu. Sambil memandang tajam ke a-rah Zubair, Umar r.a. berkata:

"Tentang dirimu, Zubair., kau itu adalah orang yang lancang mulut, kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yang menyenangkan dirimu sendiri, dan engkau membenci apa saja yang tidak kau-sukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia, tetapi pada ketika yang lain engkau adalah syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu, pada suatu ketika eng-kau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum segan-tang."

Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar, seolah-olah mengambil nafas untuk mengumpulkan kekuatan dan me-ngendalikan emosinya. Kemudian ia meneruskan: "Tahukah engkau, jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu siapa yang akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?"

Tanpa menunggu jawaban Zubair, Khalifah Umar r.a. me-noleh kearah Thalhah bin Ubaidillah, yang segera menundukkan kepala setelah melihat sorot mata pemimpin yang berwibawa itu. Bukan rahasia lagi di kalangan kaum muslimin pada masa itu, bah-wa sudah beberapa waktu lamanya
Khalifah Umar r.a. memen-dam rasa jengkel terhadap tokoh yang satu ini. Peristiwanya ber-mula pada waktu Khalifah Abu Bakar r.a. masih hidup. Ketika itu Thalhah mengucapkan suatu kata kepada Abu Bakar r.a yang sangat tidak mengenakkan perasaan Umar Ibnul Khattab r.a

Setelah memandang Thalhah sejenak, Khalifah Umar r.a. ber-tanya:
"Sebaiknya aku bicara atau diam saja?"

"Bicaralah!" sahut Thalhah dengan nada acuh tak acuh. "Tokh anda tidak akan berkata baik mengenai diriku!"

"Aku mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud," kata Khalifah Umar r.a. kepada Thalhah. "Dan aku juga mengenal kecongkakan yang pernah muncul pada dirimu. Rasul Allah wafat dalam keadaan beliau tidak senang kepadamu. Itu akibat kata-kata yang kauucapkan ketika ayat Al-Hijab turun."[1]

Menurut catatan yang dibuat oleh Syeikh Abu Utsman Al Jahidz, perkataan Thalhah yang dimaksud ialah ucapan kepada salah seorang sahabat. Kata-kata Thalhah itu akhirnya sampai juga ke telinga Rasul Allah s.a.w.: "Apa arti larangan itu baginya (yakni bagi Rasul Allah s.a.w.) sekarang ini? Dia bakal mati. Lalu kita bakal menikahi permpuan-perempuan itu!"[2]

Habis berbicara tentang pribadi Thalhah, Khalifah Umar r.a. melihat kepada Sa'ad bin Abi Waqqash. Kepadanya Umar r.a. berkata: "Engkau seorang yang mempunyai banyak kuda perang. Dengan kuda-kuda itu engkau telah berjuang dan berperang. Banyak sekali senjata yang kau miliki, busur dan anak panahnya. Tetapi qabilah Zuhrah (asal Saad), kurang tepat untuk memangku jabatan Khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin."

Tibalah sekarang giliran Khalifah Umar r.a. menilai pribadi Abdurrahman bin 'Auf, yang rupanya sudah siap mendengarkan penilaiannya. "Jika separoh kaum muslimin imannya ditimbang dengan imanmu," kata Khalifah Umar r.a., "maka imanmulah yang lebih berat. Tetapi kekhalifahan tidak tepat kalau dipegang oleh seorang yang lemah seperti engkau. Qabilah Zuhrah (asal Abdurrahman bin 'Auf juga) kurang kena untuk urusan itu."

Abdurrahman tidak sepatah kata pun menanggapi penilaian Khalifah Umar r.a. atas dirinya. Ia membiarkan Khalifah berbicara lebih lanjut mengenai diri Iman Ali r.a. "Ya Allah, alangkah tepat dan baiknya kalau anda tidak suka bergurau!" kata Khalifah Umar r.a. dengan nada suara yang agak meninggi. Kemudian de-ngan suara merendah dikatakan: "Seandainya anda nanti yang akan memimpin ummat, anda pasti akan membawa mereka me-nuju kebenaran yang terang benderang."

Imam Ali r.a. tampak terjengah dan tersipu-sipu mendengar ucapan orang yang sangat dikaguminya. Juga ia tidak membe-rikan tanggapan terhadap penilaian yang positif atas dirinya. Kha-lifah Umar r.a. akhirnya dengan serius menoleh kearah Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat berkurang. Tetapi ia memaksakan diri untuk menilai orang keenam yang ada di hadapannya itu. "Aku merasa seakan--akan orang Qureiys telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda," kata Khalifah dengan suara lembut, "karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda."

Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu, se-olah-olah sedang menahan perasaan getir yang menyelinap ke dalam kalbu. "Tetapi aku melihat nantinya anda akan meng-angkat orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu'aith di atas orang-orang lain. Kepada mereka anda akan menghamburkan harta ghanimah yang tidak sedikit." Suara Khalifah meninggi pula:
"Akhirnya akan ada segerombolan 'serigala' Arab datang meng-hampiri anda, lalu mereka akan membantai anda di atas pem-baringan."

Dengan nada peringatan yang sungguh-sungguh, Khalifah Umar r.a. mengakhiri kata-katanya: "Demi Allah, jika anda sampai melakukan apa yang kubayangkan itu, gerombolan 'sri-gala' itu pasti akan berbuat seperti yang kukatakan. Dan kalau yang demikian itu benar-benar terjadi, ingatlah kepada kata-kata-ku ini! Semua itu akan terjadi"[3]

Cara Pemilihan

Berbicara tentang wasiat Khalifah Umar r.a. menjelang wafat nya, Syeikh Abu Utsman Al Jahidz juga mengungkapkan ke-terangan Mu'ammar bin Sulaiman At Taimiy, yang diperol~h dari Ibnu Abbas. Yang tersebut belakangan ini diketahui pernah mendengar apa yang pernah dikatakan Umar Ibnul Khattab r.a. kepada para Ahlu Syuro menjelang wafatnya: "Jika kalian saling membantu, saling percaya dan saling menasehati, maka kuper-cayakan kepemimpinan ummat kepada kalian, bahkan sampai kepada anak cucu kalian. Tetapi kalau kalian saling dengki, saling membenci , saling menyalahkan dan saling bertentangan, kepe-mimpinan itu akhirnya akan jauth ke tangan Muawiyah bin Abu Sufyan!".

Perlu diketahui, bahwa ketika Khalifah Umar r.a. masih hidup, Muawiyah bin Abu Sufyan sudah beberapa tahun lamanya menjabat sebagai kepala daerah Syam. Ia diangkat sebagai kepala daerah oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Sejarah kemudian mencatat, bahwa yang diperkirakan oleh Khalifah Umax r.a. menjelang akhir hayatnya menjadi kenyataan.

Klimaks dari penyampaian wasyiat oleh Khalifah Umar r.a. ialah memerintahkan supaya Abu Thalhah A1 Anshariy datang menghadap. Waktu orang yang dipanggil itu sudah berada di-dekat pembaringannya, berkatalah Khalifah Umar r.a. dengan tegas dan jelas, seolah-olah sedang melepaskan sisa tenaganya yang terakhir:

"Abu Thalhah, camkan baik-baik! Kalau kalian sudah selesai memakamkan aku, panggillah 50 orang Anshar. Jangan lupa, supaya masing-masing membawa pedang. Lalu desaklah mereka (6 orang Ahlu Syuro) supaya segera menyelesaikan urusan mereka (untuk memilih siapa di antara mereka itu yang akan ditetapkan sebagai Khalifah). Kumpulkan mereka itu dalam sebuah rumah. Engkau bersama-sama teman-i;emanmu berjaga jaga di pintu. Biar-kan mereka bermusyawarah untuk memilih salah seorang di an-tara mereka.

"Jika yang Iima setuju dan ada satu yang menentang, peng-gallah leher orang yang menentang itu! Jika empat orang setuju dan ada dua yang menentang, penggallah leher dua orang itu! Jika tiga orang setuju dan tiga orang lainnya menentang, tunggu dan lihat dulu kepada tiga orang yang diantaranya termasuk Abdurrahman bin 'Auf. Kalian harus mendukung kesepakatan tiga orang ini. Kalau yang tiga orang lainnya masih bersikeras menen-tang,penggal saja leher tiga orang yang bersikeras itu!.

"Jika sampai tiga hari, enam orang itu belum juga mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan urusan mereka, penggal saja leher enam orang itu semuanya. Biarlah kaum muslimin sendiri memilih siapa yang mereka sukai untuk dijadikan pemimpin mereka !".

Dari sekelumit informasi sejarah tersebut di atas, kita menge-tahui, betapa tingginya rasa tanggung-jawab dan jiwa kerakyatan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Secara tertib dan terperinci, sampai detik-detik menjelang ajalnya, ia masih memikirkan cara-cara pengangkatan seorang Khalifah yang akan mengantikannya. Sambil menahan rasa sakit akibat luka-luka tikaman sejata tajam, ia masih sempat berusaha menyinambungkan kepemimpinan um-mat Islam sebaik-baiknya.


BAB VIII

KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN R.A.

Setelah jenazah Umar Ibnul Khattab r.a. dimakamkan, Abu Thalhah Al Anshariy segera mengumpulkan 6 orang Ahlu Syuro yang ditunjuk Umar r.a., di sebuah rumah. Sesuai dengan wasiyat Khalifah Umar r.a. maka 50 orang Anshar lengkap dengan pedangnya rnasing-masing, ditugaskan menjaga pintu-pintu rumah. Kepada 6 orang itu dipersilakan berunding untuk memilih siapa di antara mereka yang akan ditetapkan sebagai Khalifah pengganti Umar Ibnul Khattab r.a.

Pelaksanaan Pemilihan

Tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah pengganti Umar r.a. terdapat beberapa riwayat. Menurut Abu Utsman Al-Jahidz, pelaksanaannya sebagai
berikut:

Keenam Ahlu Syuro itu mulai bermusyawarah dan ber-debat. Thalhah bin Ubaidillah tampil sebagai pembicara pertama. Ia langsung saja mengatakan mendukung Utsman bin Affan sebagai calon Khalifah. Alasan yang diajukannya untuk bersikap demikian, karena ia yakin tidak akan ada seorang pun yang akan mencalonkan dirinya (Thalhah) sebagai Khalifah, selama Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. masih ada.

Kemudian tampil Zubair bin Al 'Awwam. Ia menentang pen-calonan Utsman bin Affan r.a., seperti yang diajukan Thalhah. Ia memberikan dukungan kepada Imam Ali r.a. Orang memper-kirakan bahwa Zubair mencalonkan Imam Ali r.a. karena hubung-an kekeluargaan. Seperti diketahui Zubair adalah anak lelaki bibi Imam Ali, Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, dan ayah Imam Ali r.a. sendiri adalah saudara ibu Zubair.

Setelah ini muncul usul ketiga, yang datangnya dari Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia mengajukan misanannya sendiri, anak pamannya, yaitu Abdurrahman bin 'Auf sebagai Khalifah. Usul Sa'ad ini pun masih berbau fikiran kekerabatan. Kedua-duanya berasal dari qabilah Bani Zuhrah. Selain itu Sa'ad sendiri pun sudah me-rasa kecil kemungkinannya untuk terpilih sebagai Khalifah.

Sekarang tinggal 3 orang yang belum mengajukan usul pen-calonan. Abdurrahman kemudian bertanya kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan
r.a.: "Siapa di antara kalian berdua yang bersedia mengundurkan diri sebagai calon? Sebab, masalah pe-milihan sekarang ini hanya bergantung kepada kalian berdua."

Ternyata tak seorang pun di antara dua tokoh itu yang menanggapi pertanyaan Abdurahman bin Auf. Setelah beberapa saat lamanya tidak ada jawaban dan semua mata tertuju kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. Abdurrahman bin Auf berkata lagi: "Sekarang aku menyatakan menarik diri dari pen-calonan." Seterusnya ditambahkan: "Dengan demikian aku dapat memilih salah seorang di antara kalian berdua."

Pernyataan Abdurrahman ini pun tidak ditanggapi, baik oleh kedua orang calon, maupun orang lainnya. Abdurrahman bin Auf kembali mengambil prakarsa untuk melancarkan jalannya pe-milihan. Kepada Imam Ali r.a. ia bertanya: "Bagaimana kalau aku membai'at anda untuk bekerja berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan mengikuti jejak dua orang Khalifah yang lalu?"

Menghadapi pertanyaan yang agak mendadak itu, dengan cepat Imam Ali r.a. menjawab: "Tidak! Aku menerima (pembai'at-an itu) jika didasarkan kepada Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan ijtihadku sendiri."

Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada Imam Ali r.a., Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan yang sama kepada Utsman bin Affan r.a. Dengan singkat dan tegas Utsman bin Affan r.a. menjawab: "ya!"

Mendengar jawaban Utsman bin Affan r.a. itu, Abdurrahman masih tiga kali lagi mengajukan pertanyaan yang sama kepada Imam Ali r.a. Imam Ali r.a. tetap pada jawaban semula. Akhir-nya Abdurrahman bin Auf mendekati Utsman bin Affan r.a. kemudian memegang tangannya. Ini sebagai tanda pembai'atan yang diberikannya kepada Utsman bin Affan r.a. Prakarsa Abdur-rahman bin Auf ternyata berhasil menyelesaikan pembai'atan Khalifah baru, untuk menggantikan Khalifah Tlmar r.a. yang te-lah wafat.

Di samping versi Abu Utsman Al Jahidz ini, ada pula versi lain tentang pemilihan Khalifah Utsman r.a. Di dalam versi lain itu dikatakan, bahwa setelah beberapa hari melakukan penja-jagan, akhirnya pada suatu hari Abdurrahman bin Auf, memin-ta kepada kaum muslimin supaya berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan menggunakan sorban yang dahulu pernah dipakai oleh Rasul Allah s.a.w., dan dengan berdiri di atas mim-bar pada jenjang tempat Rasul Allah s.a.w. dulu selalu berdiri, Abdurrahman bin Auf mengucapkan do'a dengan suara lirih.

Sebenarnya perbuatan Abdurrahman seperti di atas menim-bulkan keheranan di kalangan hadirin. Sebab, baik Khalifah Abu Bakar r.a. maupun Khalifah Umar r.a. sendiri, belum pernah ber-buat demikian.

Sambil memandang ke tempat Imam Ali r.a. duduk, Abdur-rahman berseru dengan gaya penuh wibawa: "Hai Ali, majulah engkau!"

Imam Ali r.a. segera memenuhi permintaan Abdurrahman bin Auf. Sebelum Imam Ali r.a. mengetahui benar apa yang menjadi maksud sahabatnya itu, tiba-tiba Abdurrahman memegang tangannya sambil mengucapkan kata-kata dengan suara keras. Isi kata-katanya sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abu Utsman Al-Jahidz di dalam bukunya. Begitu pula proses seterusnya.

Hanya dalam versi ini ditambahkan, bahwa Abdurraman bin Auf menyambut kesanggupan Utsman bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu dengan berkata : "Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah!"

Imam Ali r.a., para sababat Rasul Allah s.a.w. lainnya, dan semua yang hadir dalam masjid itu tanpa ragu-ragu menerima Us-man bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu sebagai pemimpin tertinggi mereka yang baru.

Pembai'atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro, merupakan kejadian pertama dalam sejarah kekhalifahan ummat Islam. Khalifah Abu Bakar r.a. di-bai'at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar Ibnul Kha-ttab r.a. ditetapkan berdasarkan wasiyat Kahlifah Abu Bakar r.a.

Akan tetapi sejalan dengan pembai'atan Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, banyak sekali orang bertanya-tanya tentang jawaban yang diberikan Imam Ali r.a. kepada Abdurrahman bin Auf. Mengapa ia mengatakan "Tidak?"

Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban pas-ti. Imam Ali r.a. sendiri tidak pernah mengemukakan secara ter-buka alasan apa yang melandasi jawabannya. Yang pasti, Imam Ali r.a. tidak pernah menyesal karena ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affan r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Sementara itu ada yang menafsirkan, bahwa perkataan "Ti-dak!" itu bukan ditujukan kepada pertanyaan Abdurrahman bin Auf yang berkaitan dengan keharusan berpegang kepada Ki-tab Allah dan Sunnah Rasul Allah, melainkan tertuju kepada ke-harusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a.

Imam Ali r.a. tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar r.a. dalam mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w. yang dica-but oleh Khalifah Abu Bakar r.a. sepeninggal beliau dan dijadikan -hak milik kaum muslimin (Baitul Mal). Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar r.a. yang mengadakan penggolongan--penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal ke-pada kaum muslimin.

Terbuka Kesempatan

Peristiwa yang berlangsung secara wajar menurut norma ka-um muslimin pada masa itu, ternyata ditanggapi secara lain oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah. Peristiwa terbai'atnya Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, diartikan oleh mereka, sebagai awal ke-menangan Bani Umayyah atas orang-orang Bani Hasyim.

Padahal Rasul Allah s.a.w. sendiri tidak pernah memandang ummatnya dari kaum apa atau dari keturunan mana. Semua kaum muslimin adalah saudara. Prinsip yang mulia itu nampaknya tidak mudah direalisasi, karena adat istiadat dan tradisi kuat yang ber-abad-abad bercokol di kalangan orang-orang Arab.

Waktu Utsman bin Affan r.a. terpilih sebagai Khalifah, pe-nyakit sukuisme dan keqabilahan muncul kembali dan malah dibesar-besarkan oleh orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. dan orang-orang dari Bani Hasyim lainnya, mereka nilai seba-gai mengalami kekalahan dalam persaingan melawan Utsman bin Affan r.a.; yang berasal dari Bani Umayyah.

Padahal Utsman bin Affan r.a. sendiri pada saat terbai'at sebagai Khalifah, sama sekali tidak menyimpan fikiran seperti yang diteriakkan oleh kaum kerabatnya. Utsman bin Affan r.a. seorang sahabat terdekat Rasul Allah s.a.w., bahkan sampai dua kali ia menjadi menantu Nabi. Pertama kali ia nikah dengan Roqayah binti Muhammad Rasul Allah s.a.w. Kemudian setelah Roqayah r.a. meninggal, ia nikah lagi dengan Ummu Kaltsum binti Muham-mad Rasul Allah s.a.w. Oleh karena itu Utsman bin Affan r.a. terkenal dengan sebutan "Dzun Nurain" (pemilik dua cahaya). Ia memeluk Islam di tangan Abu Bakar r.a. dan setelah menjadi orang beriman, ia sangat besar taqwanya kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Dalam perjuangan untuk kepentingan agama Allah dan per-juangan Rasul-Nya, Utsman bin Affan r.a. tidak pernah menghi-tung-hitung untung rugi. Hampir semua kekayaannya, harta ben-da dan jiwanya diserahkan untuk kepentingan menegakkan agama Allah. Ia terkenal pula dengan amal perbuatannya, yang dengan uang dari kantong sendiri membeli sumber air jernih "Bir Romah" untuk kepentingan semua kaum muslimin.

Utsman bin Affan r.a. jugalah yang dengan uangnya sendiri membayar harga tanah sekitar masjid Rasul Allah s.a.w., ketika masjid itu sudah terlampau sempit untuk menampung jemaah yang bertambah membeludak. Pada waktu kaum muslimin meng-hadapi paceklik hebat, pada saat mana Rasul Allah s.a.w. telah mengambil keputusan untuk memberangkatkan pasukan guna menghantam perlawanan Romawi, Utsman bin Affan r.a. lah yang mengeluarkan uang dari koceknya untuk membeli senjata dan per-lengkapan perang lainnya. Ia memang seorang hartawan dan harta-nya dihabiskan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.

Pada saat menerima tugas dan tanggung jawab sebagai Kha-lifah, Utsman bin Affan sudah lanjut usia. Kesempatan ini diper-gunakan sebaik-baiknya oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah yang ada di sekelilingnya. Dalam hal ini yang paling menonjol peranannya ialah Marwan bin Al Hakam, misanannya, yang menjadi pem-bantu utama paling dipercaya. Demikian juga Muawiyyah bin Abi Sufyan, seorang Gubernur atau Kepala Daerah Syam, daerah yang sangat makmur dan subur di sebelah utara jazirah Arab. Kedua tokoh Bani Umayyah itu mempergunakan peluang se-cara maksimal ketika usia Khalifah Utsman r.a. makin lanjut dan tidak lagi aktif sepenuhnya mengatur kehidupan negara, pe-merintahan dan ummat. Secara pandai orang-orang itu merebut hati Khalifah, menanamkan pengaruh dan memperkuat posisi mereka di bidang kekuasaan.

Gejala individualisme, mementingkan diri sendiri dan go-longan, yang pada masa Khalifah Umar r.a. berhasil dipangkas tunas-tunasnya, ternyata tumbuh kembali dengan suburnya, ter-utama pada masa-masa terakhir Khalifah Utsman r.a. Sistem pemerintahan yang sangat demokratis yang telah dirintis oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. setapak demi setapak digantikan dengan sistem oligarki (pemerin-tahan keluarga) oleh para pembantu Khalifah Utsman r.a. Harta Baitul Mal yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan ummat Islam, mulai banyak disalahgunakan. Muncullah penguasa--penguasa hartawan yang mempunyai ratusan ekor unta, kuda dan hamba sahaya, serta rumah-rumah indah di Bashrah, Kufah dan Iskandariyah.

Melihat perkembangan ummat meluncur ke bawah ini, Imam Ali r.a. tidak dapat berdiam diri. Sebagai sahabat baik, dengan tu-lus ikhlas, diminta atau tidak diminta, ia menyampaikan saran-sa-ran, nasehat-nasehat serta gagasan-gagasan kepada Khalifah Uts-man r.a. Tentu saja sikap dan tindakan yang diambil Imam Ali r.a. menimbulkan rasa tidak senang, bahkan sikap permusuhan, dari mereka-mereka yang sedang menikmati hasil
perjuangan ummat Islam untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan para penguasa pemerintahan Khalifah, dan sistem ke-kuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membang-kitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam, khususnya di kalangan qabilah-qabilah tertentu yang hidup merana.

Khalifah Utsman r.a. sendiri dalam batas kemampuan yang ada pada dirinya, telah berusaha untuk mengatasi keadaan yang semakin kritis itu, karena ia menyadari bahayanya bilamana dibiarkan begitu saja. Akan tetapi karena usianya yang telah lanjut ia tidak berdaya menghadapi "permainan" Marwan bin Al-Ha-kam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Utsman praktis sudah tidak dapat lagi mengendalikan aparaturnya.

Dikorbankan

Apa yang di ramalkan oleh Khalifah Umar r.a. pada saat menjelang ajalnya, ternyata memang benar-benar terjadi. Beberapa waktu setelah terbai'at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan r.a. mengangkat orang-orang dari kalangan Bani Umayyah dan di -tempatkan pada kedudukan-kedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi pen-ting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai Kepala Daerah atau Gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.

Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman r.a., ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (gha-nimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman r.a. kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al akam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu.

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. yang dikendalikan oleh Marwan dan kawan--kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.

Diantara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman r.a. juga
merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim d Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bah-kan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.

Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman r.a. atas desakan para penasehat dan pembantunya.
Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama "Mazhur", oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.

Begitu pula daerah Fadak, yang dahulunya berupa tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w.; oleh Khalifah diserahkan kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini menurut hukum di bawah kekuasaan pribadi Rasul Allah s.a.w.

Dalam sejarah Islam, daerah Fadak ini menjadi sangat ter-kenal, karena tuntutan dan gugatan yang diajukan oleh Sitti Fatimah r.a. kepada Khalifah Abu Bakar r.a., untuk memperoleh hak atas tanah yang dahulu berada di bawah kekuasaan ayah-andanya.

Khalifah Utsman r.a. juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradi-sional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.

Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang se-karang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Ab-dullah adalah saudara sesusuan dengan Khalifah. Dengan kekua-saan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di -daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam
negara.

Kepada Abu Sufyan bin Harb, yang dahulu terkenal peranan-nya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru
terpaksa masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman r.a. di-beri hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman r.a. membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.

Sebenarnya semua kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah Utsman r.a. merupakan pelaksanaan imla (dikte) yang disodorkan para pembantu yang diberi kepercayaan penuh. Khalifah Uts-man r.a. menyadari bahwa pribadinya ditunggangi sedemikian rupa dan sedang digiring ke marabahaya yang sangat fatal oleh orang-orang kepercayaannya. Seorang Khalifah yang kurang lebih berusia 80 tahun itu, oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah dikorbankan untuk kepentingan pribadi-pribadi, golongan dan qabilah.

Penyalahgunaan harta Baitul Mal seperti tersebut di atas, sudah tentu menimbulkan kegelisahan masyarakat muslimin pada masa itu. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman r.a. mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal bernama Zaid bin Arqam, menghadap Kha-lifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.

Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: "Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?"

"Tidak", jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan me-ngusap air mata. "Aku menangis karena aku menduga anda me-ngambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak."

"Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!" hardik Khalifah de-ngan wajah merah padam. "Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau."

Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang di-lakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau me-nanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.

Banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksi-kan tindakan-tindakan Khalifah Utsman r.a. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah memen-tingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Abu Dzar dibuang

Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a., seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.

Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka men-jadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.

Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da'wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.

Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: "Ghifar., Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam., Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"

Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan ke-benaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai "cahaya terang ben-derang."

Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.

Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang elaksanakan
perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.

Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengang-kangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang mengutusmu mem-bawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"

Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!" Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.

Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., berkat ketegasan dan keketatannya dalam ber-tindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerin-tahan Khalifah Utsman bin Affan r.a., penyakit yang membahaya-kan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak ber-daya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.

Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para pengua-sa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin ber-tambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.

Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Ber-juang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngi-ang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesa-rungnya.

Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang mem-peringatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kem-bali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak meng-infaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang Pedih. Pada hari kiamat

Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umum-nya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegak-kannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai de-ngan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.

Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk memben-dung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mem-punyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!"

Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.

Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajar-an-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: "Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir.," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya.", "Penguasa adalah abdi masyarakat," "Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya...." dan lain sebagainya.

Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang ber-gelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nura-ni. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduh-an. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.

Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Mak-kah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa ra-sa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiy-yah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: "Bu-kankah kalian itu yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!"

Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan ke-kayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pem-buangan.

Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pili-han: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membu-tuhkan duniamu!"

Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Di-kemukakannya: "Tinggal sajalah di sampingku!"

Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar ber-juang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya meng-hendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia ha-rus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawah-annya.

Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. A-khirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para pe-nguasa Bani Umayyah, Khalifah Utsman r.a. mengambil keputu-san: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantar-kannya dalam perjalanan.

Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja.
Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalib-ku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus ber-jalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan se-andainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupan-dang hal itu lebih baik bagiku."

Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.

Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sa-ngat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.

Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam buku-nya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas:

Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.

Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor:
"Hai Hasan, apakah engkau tidak me-ngerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"

Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencam-buk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."

Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta--ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.

Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata men-dorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucap-kan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.

Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan mem-buangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup ra-pat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"

Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sa-jalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ke-tahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharap-kan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh ka-rena itu buanglah rasa takut dan putus asa."

Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang saja-lah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu."

Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekua-saan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mem-percepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda da-tangnya ajal!"

Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengata-kan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu ba-nyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan du-niawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, se-benarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukan-kah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"

Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mem-punyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan."

Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang me-ngantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Kha-lifah Utsman bin Affan
r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah ber-tanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku --yakni Marwan-- dan meremehkan perintahku?"

"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali r.a. dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia ku-balas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."

"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.

"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang ber-sifat kedurhakaan harus kuturut?" tanggap Imam Ali r.a. ter-hadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.

"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah mem-peringatkan Imam Ali r.a.

"Mengapa?" tanya Imam Ali r.a.

"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang di-kendarainya" jawab Khalifah.

"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelas-kan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a., "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!"

"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. "Apakah engkau lebih baik dari dia?!"

"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.

Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyata-kan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.

Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik."

"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu me-ngambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"

"Tidak," jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya."

Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: "Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputus-anmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia mengha-lang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluar-lah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."

Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman r.a. berkata dengan nada lemah lembut: "Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaaf-kan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sam-pai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu....!"

Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan dilekatkan pada dadanya.[4]

Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembu-angannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!

Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraan-nya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:

Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia me-ngajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetum-buhan. Keberangkatan mereka berdua
diiringi tiupan angin ken-cang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak me-nemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''

Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: "Cobalah lihat ke jalan di -gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!"

"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!"

"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. "Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah muka-ku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"

Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-ke mari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda--benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari ke-jauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"

"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik ber-tanya.

"Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?"

"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.

"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.

Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mula-nya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun
sahara seorang diri. "Sahabat Rasul Allah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.

"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.

Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!"

Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam ke-adaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:

"Demi Allah., aku tidak berdusta., seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain de-ngan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan ke-padaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."

Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram."

"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal..!" Sahut Abu Dzar.

Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam ke-adaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.

Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyri-kin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuang-nya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!"

Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucap-kan "Aamiin" dengan khusyu'.

Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: "Kebenaran tidak meninggal-kan pembela bagiku..."

Krisis politik dan pemberontakan

Krisis politik yang menggoncangkan pemerintahan Khalifah Utsman r.a. di Madinah prosesnya di mulai dari Mesir. Dalam bukunya 'Aisyah was Siyasah, halaman 48, Said Al-Afghani, sejarawan Islam terkemuka, menuturkan proses terjadinya pem-berontakan terhadap Khalifah Utsman r.a. sebagai berikut:

Abdullah bin Abi Sarah, yang dalam periode kekhalifahan Utsman r.a. menjadi Gubernur atau Kepala Daerah Mesir dengan kekuasaan penuh, banyak rnelakukan tindakan yang menimbulkan rasa tidak puas dan jengkel di kalangan penduduk. Keluhan pen-duduk Mesir itu mendapat tanggapan baik dari Khalifah Utsman r.a. Tetapi Khalifah sendiri tidak dapat bertindak tegas. Bahkan orang-orang Mesir yang mengadu kepada Khalifah, sekembalinya dari Madinah dibunuh oleh Abdullah bin Abi Sarah.

Peristiwa semacam itu mengugah kemarahan rakyat yang semakin memuncak. Hampir 700 orang bersenjata meninggalkan Mesir. Mereka menuju Madinah untuk menghadap Khalifah. Khali-fah didesak supaya bertindak terhadap Abdullah bin Abi Sarah dan memecatnya dari kedudukan sebagai Kepala Daerah.

Semua sahabat Rasul Allah s.a.w., termasuk Imam Ali r.a. dan Sitti 'Aisyah r.a. turut mendesak Khalifah Utsman r.a. agar memenuhi tuntutan rakyat Mesir. Bagaimana pun juga alasan-nya tindakan Abdullah bin Abi Sarah itu bertentangan dengan hukum Islam dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Khalifah. Khalifah Utsman. r.a. menyatakan persetujuannya dan akan bertindak memecat Abdullah bin Abi Sarah.

Sejalan dengan pengangkatan Kepala Daerah baru (yang berangkat langsung dari Madinah ke Mesir), berangkat juga kurir khusus membawa surat
rahasia untuk diserahkan kepada Abdullah bin Abi Sarah. Dalam surat rahasia itu terdapat tanda-tangan Khalifah Utsman r.a. Isinya memerintahkan Abdullah bin Abi Sarah supaya segera membunuh Kepala Daerah baru setibanya di Mesir. Kepala Daerah baru itu ialah Muhammad bin Abu Bakar Ash shiddiq.

Celakanya, kurir yang membawa surat rahasia itu dipergoki di tengah jalan oleh iring-iringan Kepala Daerah yang baru diangkat dan yang akan melakukan timbang terima jabatan dari Kepala Daerah yang lama. Terbongkarlah permainan politik yang sangat curang dan kotor itu. Kemarahan rakyat Mesir tambah meningkat dan mendidih.

Penduduk Mesir menuding bahwa Marwan Al-Hakam-lah biang keladi permainan politik yang sangat berbahaya itu. Mereka menuntut agar Khalifah Utsman r.a. menyerahkan Marwan kepada mereka atau menyingkirkan Marwan dari kekuasaan. Tetapi Kha-lifah bertahan. Banyak yang memberi nasehat kepada Khalifah supaya Marwan dikeluarkan saja dari pemerintahan. Nasehat para sahabat ini tidak dapat mengubah pendirian Khalifah yang tetap mempertahankan Marwan. Ia mengakui, bahwa Marwan memang membikin kesalahan, tetapi tidak usah diambil tindakan sejauh itu. Inilah yang mendorong timbulnya krisis politik yang dengan hebat akan melanda kota Madinah.

Sikap Khalifah Utsman r.a. itu seolah-olah katup-lemah dari suasana tertekan yang siap meledak. Dan benarlah, rasa tidak puas rakyat terhadap kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan r.a. akhirnya menggelegar dalam bentuk pemberontakan.

Peristiwa penggantian Kepala Daerah Mesir sebenarnya hanya merupakan sinyal saja bagai pecahnya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman r.a. Api dalam sekam sudah lama membara, menunggu hembusan angin yang bertiup dari kantong seorang kurir yang membawa surat rahasia ke Mesir.

700 orang dari Mesir, berhasil memperoleh dukungan dari sebagian besar penduduk Madinah. Dengan senjata di tangan ma-sing-masing, mereka berbondong-bondong menuju tempat kediam-an Khalifah dan dengan ketat mengepungnya. Tindakan penge-pungan ini pada mulanya dimaksud untuk menekan Khalifah su-paya cepat-cepat mengambil langkah yang tegas terhadap orang--orang kepercayaannya, yang selalu menjadi biang keladi timbulnya keresahan dalam masyarakat.

Pengepungan total dan ketat itu ternyata menimbulkan akibat yang dari hari ke hari makin buruk bagi kehidupan keluarga Khalifah. Yang paling cepat terasa ialah kekurangan air minum. Pada suatu hari dalam suasana kepungan rakyat itu masih ber-langsung dan tambah keras, Khalifah Utsman r.a. dari anjungan berteriak kepada kerumunan orang yang sedang gaduh dan hiruk-pikuk: "Adakah Ali di antara kalian?"

"Tidak!" dijawab dengan singkat dan dengan nada kesal oleh kerumunan orang yang berada di bawah anjungan.

"Apakah ada di antara kalian yang mau menyampaikan kepada Ali supaya kami bisa mendapat air minum?" teriak Khalifah Utsman r.a. pula.

Teriakan Khalifah Utsman r.a. itu bermaksud hendak mem-beritahu kepada rakyat yang memberontak, bahwa persediaan air minum bagi keluarganya. sudah habis. Teriakan terakhir dari Khalifah ini tidak disahuti sama sekali.

Setelah Imam Ali r.a. diberi tahu oleh seseorang, bahwa Khalifah dan keluarganya sangat membutuhkan air, tanpa ragu--ragu ia memerintahkan supaya kepada keluarga Khalifah yang se-dang terkepung itu dikirim air 3 qirbah (kantong wadah air terbuat dari kulit kambing atau unta). Guna melaksanakan perintah itu, putera-putera Imam Ali r.a. sendiri, yaitu Al-Hasan dan Al-Husein membawa air ke rumah Khalifah. Berkat kewibawaan Imam Ali r.a., tidak ada orang yang berani menghalang-halangi pengiriman air itu.

Suasana yang tegang itu memang sangat menyulitkan kedudu-kan Imam Ali r.a. Di satu fihak ia menghormati Khalifah Utsman r.a. sebagai pemimpin ummat yang telah dibai'at secara sah. Khalifah Utsman r.a. adalah sahabat karibnya dan kawan seper-juangan dalam menegakkan Islam, dalam waktu yang panjang mereka terikat oleh tali persaudaraan, karena masing-masing pernah menjadi menantu Rasul Allah s.a.w. Tetapi di fihak lain, Khalifah yang telah lanjut usia itu tidak berdaya mengendalikan pembantu--pembantunya. Bahkan kepada pembantu-pembantunya ia mem-berikan kepercayaan penuh.

Berfihak kepada Khalifah berarti membela Marwan dan kawan-kawannya yang terang dibenci oleh kaum muslimin. Ber-fihak kepada kaum muslimin yang memberontak, berarti me-lawan Khalifah yang sah. Usahanya untuk menyadarkan Kha-lifah tentang gawatnya akibat perbuatan pembantu-pembantunya, tidak pernah berhasil. Khalifah Utsman r.a. memang terkenal se-jak dulu sebagai orang yang keras dalam berpegang pada pendirian-nya.

Pertentangan batin benar-benar bergolak dalam hati Imam Ali r.a. Ia merasa wajib menyelamatkan keadaan dari bencana fitnah, tetapi apa daya
jika fihak yang bersangkutan sendiri ti-dak menghiraukan nasehat-nasehat. Bahkan dalam keadaan yang sangat kritis itu Khalifah Utsman r.a. lebih dekat kepada pem-bantu-pembantunya. Sementara itu kaum pemberontak makin hari makin hilang kesabarannya. Blokade terhadap rumah ke-diaman Khalifah tidak berhasil mengubah pendirian pemimpin yang sudah lanjut usia itu.

Para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-'Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, po-sisi mereka hampir sama dengan posisi Imam Ali r.a. Nasehat-nasehat mereka sudah tidak mempan bagi Khalifah. Padahal tuntutan kaum muslimin yang berontak benar-benar adil dan masuk akal.

Setelah pengepungan makin hari makin berlarut dan Khalifah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan kaum pemberontak, akhir-nya kaum pemberontak mengambil jalan pintas. Mereka meren-canakan pembunuhan diam-diam terhadap Khalifah Utsman r.a.

Rencana kaum pemberontak ini cepat tercium oleh Imam Ali r.a. Ia segera memerintahkan dua orang puteranya, guna melin-dungi keselamatan Khalifah: "Berangkatlah kalian ke rumah Utsman. Bawa pedang dan berjaga-jagalah di ambang pintu rumah-nya. Jaga, jangan sampai terjadi suatu bencana menimpa Utsman!

Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. di-ikuti oleh para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang lain. Thalhah dan Zubair juga memerintahkan puteranya masing-masing untuk bersama-sama Al-Hasan r.a. dan Al-Husein r.a. melindungi Khali-fah Utsman r.a.

Langkah-langkah pencegahan yang diambil oleh Imam Ali r.a. itu ditulis. oleh Said Al-Afghaniy dalam bukunya Aisyah was Siyasah. Bahkan kata penulis ini, ketika kaum pemberontak makin gusar dan menghujani rumah Khalifah dengan anak panah, beberapa putera sahabat Rasul Allah s.a.w. yang berjaga-jaga itu ada yang terluka, antara lain Al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin Thalhah. Terlukanya putera-putera para tokoh Islam itu me-nimbulkan kekhawatiran kaum pemberontak, yang nampaknya di pimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar Ash shiddiq.

"Kalau orang-orang Bani Hasyim datang," kata Muhammad bin Abu Bakar ,
"dan melihat darah mengalir dari tubuh Al-Hasan dan Al-Husein, mereka
pasti akan bertindak terhadap kita. Ren-cana kita akhirnya akan gagal."
Berdasarkan jalan fikiran yang de-mikian, diusulkan kepada
teman-temannya agar Khalifah Utsman dibunuh saja secara diam-diam.

Gugur di tangan pemberontak

Proses terjadinya pembunuhan atas diri Khalifah Utsman r.a. ternyata banyak diteliti oleh para sejarawan, terutama para pe-nulis sejarah Islam. Ada beberapa versi yang muncul mengenai siapa sebenarnya yang membunuh Khalifah Utsman r.a. Said Al-Afghaniy, yang bukunya dianggap autentik oleh para sejarawan menunjuk bahwa Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq-lah yang merencanakan pembunuhan itu, tetapi yang melaksanakan ren-cana dua orang temannya.

Menurut Said Al-Afghaniy, Muhammad bin Abu Bakar ber-sama dua orang temannya memanjat dinding belakang kamar Khalifah. Ketika itu Khalifah sedang membaca Al-Qur'an dan hanya ditemani oleh isterinya yang bernama Na'ilah. Setelah ber-hasil memasuki kamar Khalifah, Muhammad langsung menyerbu Khalifah. Lalu janggutnya yang sudah memutih dipegangnya keras--keras. Khalifah dengan nada sedih berkata: "Lepaskan janggutku, hai putera saudaraku! Jika ayahmu melihat perbuatan yang kau lakukan ini. aah, alangkah kecewanya dia!"

Hati Muhammad bin Abu Bakar justru terharu, cair dan luluh. Tanpa disadari, tangan yang sedang memegang erat janggut me-mutih itu mengendor perlahan-lahan dan lepaslah. Tetapi ma-lang, dua orang teman Muhammad yang turut masuk menyerbu tidak dapat menguasai hatinya masing-masing. Tombak pendek yang mereka pegang segera dihunjamkan ke lambung Khalifah Utsman r.a. Seketika itu juga Khalifah gugur. Na'ilah yang me-nyaksikan adegan itu melolong dan menjerit-jerit histeris bersama-an dengan melesatnya tiga orang pemuda itu lari melompat jende-la. Na'ilah terus menerus menjerit: "Amirul Mukminin terbunuh! Amirul Mukminin terbunuh!"

Dalam versi yang sama, tetapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda, buku yang berjudul Al-Iqdul Farid, jilid III, halaman 78-82, juga mengungkapkan proses pembunuhan atas diri Khalifah Utsman r.a. Segera setelah mendengar berita tentang terbunuhnya Khalifah Utsman r.a., Imam Ali r.a. termasuk orang pertama yang menuju ke kamar maut. Duka hatinya yang mendalam terpancar terang sekali pada wajahnya ketika me-nyaksikan sahabatnya gugur secara menyedihkan. Tetapi wajah sendu itu kemudian berubah merah padam waktu ia menoleh ke-pada dua orang puteranya. "Bagaimana ia bisa terbunuh? Bukan-kah kalian berdua sudah kuperintahkan supaya berjaga-jaga di depan pintu rumahnya?" tegor Imam Ali r.a. kepada dua orang puteranya dengan suara membentak.

Tampaknya kemarahan Imam Ali r.a. demikian hebatnya, sampai kedua orang puteranya itu dipukulnya sendiri. Kemudian kepada Na'ilah, janda Khalifah Utsman r.a. yang sedang dirundung malang ia bertanya tentang siapa sebenarnya yang mem-bunuh Khalifah.

"Aku tak tahu," jawab Na'ilah. "Yang kulihat ada dua orang tak kukenal masuk bersama Muhammad bin Abu Bakar." ujarnya sambil menangis. Lalu diceritakan oleh Na'ilah apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin Abu Bakar.

Ketika Imam Ali r.a. mengecek keterangan Na'ilah kepada Muhammad bin Abu Bakar, putera Khalifah pertama itu hanya mengatakan: "Wanita itu tidak berdusta. Aku memang masuk ke kamar itu dengan rencana hendak membunuh Utsman. Tetapi pada saat ia mengingatkan aku tentang ayahku, aku sadar kembali dan bertaubat."

Dengan nada sungguh-sungguh dan penuh penyesalan, putera Khalifah Abu Bakar r.a itu kemudian melanjutkan kata-katanya: "Demi Allah, aku tidak membunuhnya!"

Menanggapi keterangan Muhammad bin Abu Bakar itu, Na'ilah pada lain kesempatan berkata kepada Imam Ali r.a.: "Bah-wa apa yang dikatakan oleh Muhammad itu benar. Tetapi dialah yang membawa masuk dua orang pembunuh itu."

Agak berbeda dengan dua riwayat tersebut di atas, versi lain lagi yang ditulis oleh sejarawan terkemuka juga, At-Thabariy, dalam bukunya Tarikh, jilid III, mengatakan pada halaman 421 sebagai berikut:
Seorang demi seorang memasuki kamar Khalifah yang sedang membaca Al-Qur'an. Tapi orang-orang itu mundur kembali karena ragu-ragu hendak membunuh Khalifah yang sudah lanjut usia. Kemudian masuklah Qutairah dan Saudan bin Hamran bersa-ma seorang lagi yang dipanggil dengan nama Al-Gafhiqiy. De-ngan sebatang besi yang dibawanya, Al-Gafhiqiy menghantam Khalifah Utsman. Qur'an yang sedang dibaca oleh Khalifah ditendang sampai jatuh di depan orangtua itu, kemudian me-merah dibasahi cucuran darah yang mengalir dari luka-luka Kha-lifah. Saudan segera maju untuk menebas leher Khalifah, te-tapi isterinya yang menyaksikan kejadian itu cepat-cepat ber-gerak maju untuk menahan pedang yang sedang diayun, sehingga putuslah jari-jarinya.

Habis melakukan pembunuhan kejam itu, tidak lupa mereka merampas benda-benda berharga yang ada dalam ruangan. Bah-kan mereka mencoba melucuti perhiasan yang sedang dipakai oleh anak-anak dan isteri Khalifah Utsman. Tetapi ketika mereka mendengar pekik dan jerit para wanita, terpaksa mereka buru--buru lari keluar. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, yaitu waktu Khalifah Utsman genap berusia 82 tahun.

Terbunuhnya Khalifah ketiga ini merupakan alamat buruk yang menandai akan terjadinya krisis baru yang lebih hebat lagi di kalangan ummat Islam masa itu. Bagi Imam Ali r.a. sendiri, peristiwa itu menempatkan dirinya pada kedudukan yang serba sulit. Sebab terbunuhnya Khalifah berarti terjadinya kekosongan pimpinan yang serius dan tak mudah diatasi. Sedang wilayah Islam sudah sedemikian luasnya membentang dari barat sampai ke timur.

Tokoh-tokoh seperti Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sufyan, Marwan bin Al-Hakam, Abdullah bin Abi Sarah dan lain-lain, itulah pada hakekatnya yang menggali liang kubur bagi Khalifah Utsman r.a. Mereka itulah sebenarnya yang harus ber-tanggung jawab atas terjadinya malapetaka yang menimpa diri Khalifah itu. Tetapi rasa tanggung jawab itu tidak ada pada mere-ka. Malahan setelah pemberontakan terjadi dan
Khalifah mati terbunuh, mereka cepat-cepat membersihkan diri dan cuci tangan, serta menjadikan Imam Ali r.a. sebagai kambing hitam.

__._,_.___

.


__,_._,___

join me on

translate this page

Blog Archive

Subscribe to Feed


who viewed me

visit Jogja

Visit Yogyakarta / Jogja