Tuesday, May 13, 2025
10:51 | diposting oleh
didin.jamaludin |
Edit Post
Oleh: Didin Jamaludin
Ledakan hebat yang terjadi saat proses pemusnahan amunisi di kawasan Pantai Cibalong, Kabupaten Garut, pada 11 Mei 2025, menewaskan 13 orang dan melukai belasan lainnya. Sebuah peristiwa yang semestinya berada dalam ranah tertutup dan teknis militer, justru berubah menjadi tragedi sipil. Yang lebih memilukan, sebagian besar korban adalah warga biasa yang berada di lokasi untuk memunguti serpihan logam sisa ledakan, demi dijual sebagai besi tua.
Peristiwa ini tidak bisa dibaca hanya sebagai kecelakaan prosedural atau kelalaian teknis. Ini adalah cermin kondisi sosial yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan: krisis kemiskinan yang memaksa rakyat mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan uang dari limbah militer.
Secara normatif, pemusnahan amunisi kadaluarsa adalah aktivitas berisiko tinggi yang hanya boleh dilakukan oleh personel militer terlatih di lokasi yang benar-benar steril dari akses sipil. Prosedur keamanan seharusnya ketat, dengan radius aman yang tidak bisa dilanggar. Namun, di lapangan, kita menyaksikan ironi: warga sipil terbiasa datang usai ledakan untuk mencari logam bekas. Ini menunjukkan bahwa pengamanan tidak pernah benar-benar ditegakkan—atau mungkin sengaja dibiarkan karena kondisi itu telah menjadi “kebiasaan.”
Lalu, mengapa warga datang ke lokasi yang jelas-jelas berbahaya?
Jawabannya sederhana dan menyakitkan: karena kemiskinan. Mereka tidak punya pilihan. Serpihan logam itu adalah “rezeki” dari sistem yang gagal melindungi dan menyejahterakan. Ledakan yang seharusnya menjadi akhir dari benda-benda berbahaya, justru menjadi pemicu kematian mereka yang hanya ingin bertahan hidup.
Kita sedang berhadapan dengan fenomena sosial yang jauh lebih dalam: ketika negara gagal menyediakan lapangan kerja, sistem penghidupan, dan perlindungan sosial, maka rakyat akan mencari cara—meski dengan risiko kehilangan nyawa. Ini bukan sekadar tragedi teknis. Ini adalah tragedi struktural. Sebuah kegagalan negara dalam menjamin hak dasar warganya: hidup yang aman dan layak.
Tragedi Garut adalah sinyal keras bagi pemerintah, khususnya militer, untuk mengevaluasi ulang prosedur pengamanan kegiatan berisiko tinggi. Tapi lebih dari itu, ini adalah peringatan bagi seluruh institusi negara: bahwa kemiskinan hari ini telah membuat rakyat rela masuk ke ruang-ruang yang mestinya tak terjamah, hanya demi sesuap nasi.
Kita tidak bisa lagi memisahkan urusan militer dari konteks sosial. Ketika rakyat berada di zona militer bukan sebagai musuh, tapi sebagai pemulung, maka kita sedang melihat puncak ironi sebuah bangsa yang tercerabut dari nurani.
Sudah saatnya negara hadir di tempat yang benar: bukan hanya mengamankan perimeter ledakan, tapi juga mengamankan perut dan masa depan rakyatnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
translate this page
Blog Archive
-
►
2016
(1)
- ► December 2016 (1)
-
►
2014
(1)
- ► October 2014 (1)
-
►
2013
(1)
- ► December 2013 (1)
-
►
2011
(4)
- ► October 2011 (1)
- ► February 2011 (2)
-
►
2010
(30)
- ► November 2010 (5)
- ► October 2010 (3)
- ► April 2010 (4)
- ► March 2010 (4)
- ► February 2010 (2)
- ► January 2010 (3)
-
►
2009
(199)
- ► December 2009 (3)
- ► November 2009 (32)
- ► October 2009 (52)
- ► September 2009 (10)
- ► August 2009 (27)
- ► April 2009 (1)
- ► March 2009 (3)
- ► February 2009 (8)
- ► January 2009 (5)
-
►
2008
(86)
- ► November 2008 (5)
- ► October 2008 (9)
- ► September 2008 (3)
- ► August 2008 (4)
- ► March 2008 (10)
- ► February 2008 (19)
- ► January 2008 (2)
-
►
2007
(89)
- ► December 2007 (4)
- ► November 2007 (5)
- ► October 2007 (43)
- ► September 2007 (23)
- ► August 2007 (10)
- ► January 2007 (3)