Tuesday, March 03, 2009
Kompas Edisi Selasa, 3 Maret 2009 sisipan khusus Yogyakarta yang hanya 1 lembar 1/2 itu sedikit meggelitik saya untuk membacanya sampai habis pas diatas headline berbunyi “Wisata Yogyakarta Perlu Gerak Cepat” oleh Deddy Pranowo Eryono selaku Kapurel (Ketua Keluarga Public Relation) entah benar atau tidak tuh Kompas menulisnya tapi menurut hemat saya Ka = Ketua, Purel = Public Relation. Jadi ga mesti ada lagi kata “Keluarga” disitu.

Oke lah, saya tidak akan memperpanjang masalah salah editorial Kompas toh saya percaya sebuah koran besar pasti mempunyai seorang editor yang sudah kompeten untuk memegang wilayah metropolitan Jogja yang harus berkompetisi dengan koran lokal (red, Ndeso) sebuah kota yang mempunyai nilai strategis dari segala bidang. Tapi yang ingin saya share disini adalah komentar seorang Kapurel itu sendiri yang saya pikir beliau mewakili semua orang PR yang terlibat dengan pariwisata di Jogja entah itu al. Hotel, Cafe, Agen Perjalanan, dll. Komentar beliau bahwa Jogja harus berkaca dari Bali yang menomor satukan pariwisata diatas prioritas lain, tidak seperti Jogja dengan bukti kesemrawutan tatanan wisata kota Jogja yang tidak ada perubahan selama lima tahun terakhir.

Malioboro sebagai ikon wisata yang kumuh dan semrawut adalah contoh nyata dari ketidak berdayaan Jogja meng-upscale kotanya sendiri. Lupakan dengan Sultan sejenak yang sibuk mencalonkan diri menjadi Gubernur se-Indonesia, tapi lihatlah apa yang saya selalu foto dari waktu ke waktu setiap kali saya landing di Bandara Adisucipto.

Siapa sih yang tidak ilfil saat anda seorang wisatawan yang memimpikan sebuah suguhan wisata lokal dengan beragam informasi wisata di lounge kedatangan sekarang disuguhi oleh etalase sebuah real estate, furniture? Konter pusat informasi yang kosong melompong tanpa seorang petugas ataupun brosur tentang pake wisata, penyewaan kendaraan, promosi akomodasi yang murah, agenda perujukan seni di kota?

Kemana semua itu?

Sebenarnya apa yang terjadi?

Jujur! Saya cinta jogja meskipun saya bukan orang jawa dan tidak lahir di jogja. Tapi saya sangat peduli dengan apa yang saya cintai. Kalo orang Jogja sudah merasa nyaman dengan keadaan sekarang, saya “tidak” saya ingin memajukan kota ini. Saya ingin direct-flight-international selalu penuh pulang dan perginya apalagi buat orang lokal sekarang banyak kesempatan keluar negri tanpa bayar palak (red baca fiskal). Jangan sampai mereka menarik kembali jalur penerbangan internasional yang destinationnya 'tidak international”.

Tidak heran kalau Jogja cukup senang dengan sisa turis Eropa dan Jepang yang overland dari Bali sebelum kembali ke negaranya yang hanya stay maximum 2 hari itupun kelas Prawirotaman kan?


lotta loves from,

0 komentar:

Post a Comment

hey...thanks for your post, i really appreciate it.

join me on