Monday, July 07, 2008
artikel ditulis oleh : DJ
imej persembahan dari http://elsyescook.blogspot.com/
Senin 07/07/08.

Sudah lama sejak renovasi sekitar 1 atau 2 bulan lalu aku ingin mampir di outlet yang terletak tidak di jalan utama menuju bunderan UGM dari arah jalan sudirman di jantung kota gudeg ini. Penasaran dengan tempatnya yang kelihatannya cozzy apalagi kalau melintas didepannya setelah malam tiba. Rumah tua peninggalan feodal yang keutuhan estetika-nya dipertahankan oleh pemiliknya menjadikan cafe yang menyuguhkan minuman berbagai kreasi cocoa ini berhasil merebut hati para pecinta bubuk biji salah satu rempah yang membuat bangsa ini sengsara selama 350 tahun dan selama itu pula komoditas alam yang satu ini diangkut ke benua eropa oleh kapal-kapal VOC.

Sudah 3 hari ini aku tidak mengunduh rss-feed dari forum-forum dimana aku bisa membaca buah fikiran orang-orang yang se-ide denganku ataupun hanya mengupdate pengetahuanku dari beberapa site yang menyajikan berita-berita terkini seantero negaraku Indonesia yang tengah carut-marut baik perekonomian maupun panggung politik-nya.

“Sendiri mas”? Seorang greeter berparas terlalu cantik untuk ukuran seorang laki-laki meyapaku diluar pintu masuk yang hanya berjarak satu meter dimana aku parkir-kan mioku.

“Gak, berdua kok ama setan” Jawabku dalam hati. Ya iyalah udah tahu aku datang sendiri pake tanya lagi. Mungkin maksudnya dia apakah akan ada temanku yang bergabung belakangan denganku.

“Iya”. Jawabku singkat.

Segera ia meng-escort-ku ke meja pojok yang memang cuma itu yang tersedia saat itu. Meja bulan mengkilap berbahan metal ringan yang chicky entah apa namanya, disebut alumunium tapi tampak mengkilap bagai stainless steel. Tapi perabotan kebanyakan untuk cafe masa kini sejak 3 tahun lalu, hanya itu yang aku tahu.

Segera aku nyalakan notebookku dan kuunduh 260 email, dan lebih dari 400 rss feed berita yang entah kapan aku akan melahap membacanya. Yang pasti jikalau aku tak ada waktu untuk membacanya, folder in-box thunderbird-ku tidak akan membebani kinerja notebook aku yang terasa semakin lamban karena aku sudah menyetingnya untuk menghapus secara otomatis semua rss-feed maupun email-email dari forum jika sudah lebih dari 30 hari. Jadi aku tetap update dengan issue-issue terkini selama sebulan terakhir, ini caraku untuk memberi asupan kepada isi kepala dan hatiku. Baca koran dan nonton TV sudah tidak ada gunanya untukku karena aku tahu forum dan berita apa yang membuatku tertarik, tidak melulu dijejali oleh tayangan infotainment maupun provokasi para poli-tikus maupun preman-preman agama yang bersembunyi dibalik ikon masing-masing.

Aku penggemar berat kopi tapi penyuka coklat. Meski keduanya mempunyai nilai sosial dan emosi yang sama, tapi aku khawatir kalau denga mengkonsumsi coklat banyak akan membuat migren-ku semakin merajalela. Tapi entahlah, buatku lebih baik aku mati tapi aku telah sempat menikmati nikmatnya coklat mungkin jika kelak aku jadi hantu tidak akan gentayangan ke gerai cokelat.


“Ada coklat tanpa susu ga”?

“Gak ada mas, disini pake susu semua”.

“Kalau order tanpa susu bisa ga”?

“Gak bisa mas”.

“Tapi kalau mas mau coklat tanpa susu bisa order es coklat”.

Ini lagi-lagi praktek pemaksaan. Apa-apa by the book. Belum tentu apa yang tertulis di buku itu benar, bukannya buku ditulis oleh orang-orang yang hanya menuliskan apa yang ada di benak mereka saja? Dimana letak flexibilitas dan mulai “hearing to the market trend”?

“Mas baru kesini ya”?

“Asu”! Pertanyaan apa pula itu. Kalau tidak butuh koneksi internet yang sudah 3 hari ini lumpuh di kantorku, mungkin aku akan hengkang dari tempat keparat itu. Aku pikir perilaku waiter-nya akan sehangat coklat panas yang aku bayangkan selama ini, aku yakin untuk jaringan retail semacam ini pasti ada pelatihan bagaimana membuat 1st timer costumer akan kembali lagi dan merasa diperlakukan bak pelanggan sejak dahulu kala. Tapi buktinya tidak.

Untung secangkir “Cocolate Decilio” seukuran cangkir expresso selepas makan siangku di parsley segera melelehkanku. Aku berfikir kalau cangkir cokelat biasanya lebih besar dari ukuran cangkir kopi. Tapi sudahlah, untuk untuk apa aku selalu memikirkan sesuatu yang menurut kaidah umum “biasanya” kan boleh saja “luar biasa” atau “tidak biasa” toh perbedaan ini yang mungkin akan membuat satu sama lain lebih menarik. Atau lagi-lagi penyajian coklat di cangkir expresso adalah semata norma yang mereka anut di cafe ini sesuai dengan alkitab yang mereka ajarkan dan percayai?

Kental menggumpal di pangkal tenggorokan.

Manis tersisa diujung lidah.

Pahit menempel di sela gigi.

Gurih terasa sampai tetesan terakhir.

Jam 22:51 malam. Senang rasanya bisa menulis kembali setelah lama absen. Entah kebetulan atau tidak tapi bukan disengaja kalau postinganku berbau coklat berturut-turut dan aku tidak tahu apa yang akan aku posting berikutnya. Tapi malam ini, aku telah menyempurnakan hariku ditengah gelak tawa para hedonist bersama teman-temannya dan kesunyian para autis dengan notebooknya.



lotta loves from,

0 komentar:

Post a Comment

hey...thanks for your post, i really appreciate it.

join me on