Tuesday, June 03, 2008
Tawaran minum kopi setelah acara makan malam di restoran yang romantis sebagai acara kencan pertama dengan seorang perempuan kemudian mengantarnya pulang ke apartmentnya yang ia tinggali sendiri adalah scene klise untuk undangan bercinta dalam film-film drama percintaan ala Hollywood.

Tapi ajakan minum kopi jam menjelang jam satu tengah malam di Manut Nite tidak membuat aku lantas mengasumsikan sebuah ajakan bercinta untukku meskipun aku menginginkannya. Kutepis segala bisikan setan dari kuping kiriku dan kupaksakan mendengarkan ajakan malaikat untuk tetap berfikir positif dan bertingkah layaknya seorang teman biasa.

Aku tidak mau memaksakan sesuatu yang pada akhirnya akan membuat aku kecewa disuatu saat nanti jika ternyata perkiraanku meleset dan jika kenyataaanya tidak sesuai dengan pengharapanku. Paling tidak tip ini aku sudah berkali-kali aku terapkan kepada seseorang yang aku baru kenal sehingga sejelek apapun yang kualami adalah sebagai pilihan alam saja dan tidak patut disesali maupun membuatku marah dengan orang lain maupun diri sendiri.

Suasana Manut Nite sudah lenggang ketika aku dan Yuki tiba. Hanya beberapa meja yang terisi dengan segerombolan mahasiswa insomania yang kelihatannya saling berkirim sms satu sama lainnya karena masing masing sibuk dengan hp di tangannya masing masing dan tak banyak yang mereka bicarakan. Sampai aku menulis blog ini aku masih penasaran dengan nama warkop yang satu ini, kenapa disebut “Manut Nite” sampai-sampai aku google-ing apa arti dari “Manut” tapi yang keluar hanya seputar cerita-cerita blogger tentang memori mereka di Manut Nite, ada sekitar 1.520 hits dalam 31 detik pencarian “Manut Nite” tapi tidak dari arti kata Manut itu sendiri. Dan sampai sekarang aku hanya mengira kalo “Manut” berarti menuruti perintah. Seperti penggalan kata “aku manut saja”, berarti aku setuju atau menyerah dan melakukan yang orang lain setujui.

Segelas tinggi Kopi Aceh yang aku pesan masih panas diujung lidah dan aku hampir menyemburkannya dari mulutku sambil aku sedikit menyumpah serapah karena selain panas kopinya sangat manis. Aku lupa memberitahu pelayannya untuk hanya menuangkan sedikit gula kedalam kopiku. Yuki seketika menertawakanku sembari menyeruput Kopi Toraja yang ia pesan. Sepertinya lidahnya sudah kebal dengan panas dan sepertinya sangat menikmati manisnya kopi yang lebih pantas aku sebut “sirop kopi” karena terlalu manis rasanya.

“Maaf mas kami sudah mau tutup”, seorang pelayan tanpa rasa bersalah menyodorkan bon pembayaran. Seketika darahku naik ke ujung ubun-ubunku. Untuk Yuki segera menengahi dan ia segera memberikan selembar uang lima-ribuan kepada si mas yang sok innocent itu. Ingin aku tumpahkan kopi aceh panasku ke muka si mas tadi, gimanapun juga aku sekarang di Manut Nite adalah karena pengorbananku untuk bisa berdua dengan Yuki dan mengenalnya lebih jauh.

Kopi Acehku tak sempat aku sentuh lagi. Kulihat Kopi Toraja yang Yuki order baru seperempatnya ia minum ketika kami meninggalkan Manut Nite. Mioku secepat melesat lebih agresif ketimbang sewaktu menuju ke Manut Nite, dan sebuah rangkulan erat kurasa dipinggang. Sekali lagi hangat nafas itu kambali terasa dikuping bagian belakangku dan kudengar ia bergumam hampir tak terdengar.

“Easy Bro”.

Klebengan – Selokan – Jakal. Kuberhentikan Mioku di tukang rokok dekat apotik K24 di KM5 Jakal.

“Mau ngapain bro”

“Beli Rokok”.

“Titip Malbor Merah ya”.

Lima menit berlalu.

“Apa itu”? Yuki keheranan melihatku menenteng kresek hitam.

“Cerewet”, kataku sedikit membentak dia.

Kelihatannya beberapa kejadian yang sangat emosional teleh membawaku kepada titik emosi yang membuat aku ingin sedikit memberikan kompensasi terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan yang aku alami malam ini. Dua botol vodka murahan yang berkedok kios rokok 24 jam itu paling tidak terkenal seantero anak-anak Jakal dan sekitarnya memerlukan sedikit kesenangan dimalam hari.

“Kita mau kemana”?

“Jangan cerewet”! Sekali lagi aku dengan sedikit nada tinggi mengacuhkan dia sambi aku berikan kresek hitam untuk dia bawa.Tanpa berani angkat bicara lagi Yuki kembali duduk di belakangku.

“Gila”! Hanya itu yang aku dengar. Aku tidak yakin apakah maksud dia dengan kelakuanku atau dengan belanjaanku ketika dia sadar bahwa dia tengah menenteng dua botol kecil vodka.

Tidak sampai lima menit. Aku segera memasukan Mioku ke garasi dan Yuki segera menyadari kalau aku membawanya kerumahku.

“Masuk”! Perintahku kepada Yuki yang terlihat masih ragu antara masuk dan tidak.

“Copot dan simpan sepatumu disitu”. Ujarku lagi sambil menunjuk ke arah rak sepatu di garasi motor.

Yuki segera mengekor dibelakangku. Kebetulan garasiku connecting dengan dapur, segera kuambil dua kaleng Ginger Ale yang selalu sedia di kulkasku, segelas es batu dari freezer dan dua gelas kosong.

“Bang, pinjemi aku kaos dong”. Masih dengan rambut yang basah Yuki menghampiriku selepas dia mandi, sekarang dia nampak lebih segar.

“Ambil aja di lemariku sana”.

“Yang mana bang”? Teriaknya ladi dari dalam kamarku.

Aku paling benci orang teriak-teriak dirumahku apalagi ini sudah larut malam. Segera aku berlari kecil menghampiri dia dikamarku.

“Kaos abang bagus-bagus, aku cuma mau yg jelek buat tidur”.

Segera kupilih kaos usang yang tipis biasa aku pakai untuk tidur.

“Berdiri”. Perintahku. Dia menurut.

“Angkat tangannya”. Bak anak kecil yang dipakaikan baju oleh mama-nya Yuki “manut” saja tatkala kupakaikan kaos kebadannya yang masih “boyish” paling tidak segelas Ginger-Ale-Vodka masih belum mengaburkan pandangan mataku dari penglihatanku saat itu.

Ku-kucek-kucek rambutnya yang masih basah.

“Keringkan lagi tuh rambutmu, nanti bau apek” kataku lagi sambil segera meninggalkan dia yang masih berpatung didepan lemari bajuku yang masih terbuka.

Segera kukembali ke ruang tamu dan melanjutkan nonton tv. Kutuang lagi segenggam es batu kedalam gelas minumanku yang sudah kosong, seperempat vodka dan setengah gelas ginger-ale. Kusulut lagi batang rokok dan kemudian aku baru menyadari kalau ternyata aku masih meyisakan setengah batang rokok yang tengah menyala sebelum aku memakaikan kaos ke Yuki. Dan aku juga baru sadar kalau pendengaranku masih waras kalau Yuki manggil abang, bukan manggil mas karena ini di Jogja ataupun manggil “bro”.

Sepuluh menit berlalu. Gelas kedua ginger-ale-vodka-ku baru saja menyisakan es batu didasar gelas yang minta diisi lagi. Rokok terakhir yang aku hisap hampir saja membakar jariku dan menumpahkan abu rokok di kursi yang aku duduki. Yuki belum juga menyusulku kedepan TV. Segera kulempar puntung rokok ke asbak tanpa aku mematikannya dulu kemudian aku masuk ke kamarku untuk mengecek keadaan Yuki. Aku pikir dia masih sibuk mengeringkan rambutnya makanya kenapa ia tidak menyusulku kedepan TV dan bergabung dengan pesta kecilku.

Kulihat sesorang tidur diatas kasurku. Paling tidak itu yang aku lihat. Matanya setengah terpejam tandaia baru saja telelap. Nafas yang dalam dan pendek terdengar berat ditelingaku. Tangan kiri masih menggengam handphone sementara tangan kanan diatas perut dibawah kaos yang tersingkap sedikit keatas menyisakan gurat bulu bulu harus ditengah perut. Jelas terlihat, terlihat jelas!

Tigapuluh menit berlalu. Trans TV telah mengumandangkan lagu closing, pertanda siaran segera berhenti. Sebotol vodka, dua kaleng ginger-ale, segelas es batu sudah masuk kedalam perutku.

Mataku mulai berat.

Tapi aku tak ingin malam cepat berlalu.


Jagalah aku wahai malaikat malam.
Bawalah aku kelangit ketujuh.
Tidurkan aku diatas awan yang lembut.
Sehingga aku bisa melihat sejuta bintang.
Dan melihat jauh kebawah.
Melihat ia tertidur pulas diatas ranjangku.
Bagai seorang bocah ingusan yang innocent.
Tanpa beban, tanpa masalah hidup...

lotta loves from,

0 komentar:

Post a Comment

hey...thanks for your post, i really appreciate it.

join me on