Sampai kapan aku bisa bertahan dengan perasaan ini
aku menunggumu, bahkan sampai saat ini..
berharap kau datang dan PULANG kembali Ke pelukanku..
Entah kapan aku benar-benar bisa melepaskanmu,
melupakanmu seperti kau begitu mudah meninggalkanku.
aku begitu tersiksa dengan cinta ini
kebencian dan Luka yang semakin perih bahkan tak mampu memaksaku melupakanmu.
Sosokmu hadir menjadi bayangan yang begitu nyata,
namun tak dapat kusentuh..
hadir di setiap sudut ruang gerakku
muncul di setiap detik yang berlalu..
bahkan di saat aku ingin membuang semua cerita tentangmu...
Kapan kau kembali Cintaku..??
Kapan kau akan PULANG ke rumah Hatiku??
dimanapun kau berada, PULANGlah
2 Double Cokelat
1 Black Coffee
1 Hot Cokelat
2 Beef Croissant
A clear blue water
A clean golden beach
A morning breeze
A good crowd
A super early breakfast
A good companion
A Rp. 80K dunkin garbage
andai aku mempunyai senapan laras panjang berlaras dua. akan kumasukan dua butir peluru yang biasa orang pergi berburu babi liar pengganggu ladang petani. lalu kutembakkan senapan itu dari jarak satu meter supaya otaknya berhambur keluar dari tempurung kepalanya dan bercipratan menyiram mukaku bercampur bau amis darah segar.
Mimpi buruk itu kembali lagi
Sekali lagi aku picingkan mataku saat mobil berhenti. Sebuah kentungan berwarna merah dengan bentuk cabe merah sebesar badan anak kecil menggantung diujung teras, jelas terlihat oleh sorot lampu mobil. Sebuah rumah joglo tua yang besar dengan bagunan yan lainnya yang lebih kecil bercat putih disebelah kirinya tertangkap jelas dalam hitungan satu detik sebelum orang yang duduk sebelah kananku menutup kembali selimut yang sempat tersingkap. Dia masih berfikir aku masih pingsan.
Bagai sebuah bantal bulu angsa yang ringan, kembali badanku diangkat keatas pundaknya. Kemudan setengah dihempaskan tubuhku didudukan diatas kursi kayu dengan sandaran punggung yang cukup tinggi dan sehingga membentur kepala bagian belakangku. Seketika sekeliling kepalaku dipenuhi oleh bintang-bintang kecil dan kunang-kunang yang berterbrangan. Kedua tanganku dilingkarkan kebelakang dan diikat seutas tali kecil yang kuat tapi tidak terlalu menyakitkan hanya kuat. Mungkin semacam kabel telephone.
Selimut yang menutupi kepalaku dibuka. Pandangan mataku segera menyapu sekeliling ruangan, hanya dinging putih tanpa jendela yang hanya mempunyai satu pintu, cukup luas. Cahaya lampu yang sangat minim disertai kepalaku yang membentur senderan kursi masih meyisakan pandangan yang mampu aku rekam dalam otakku. Ada sosok tubuh lain setengah telanjang yang terkulai lemas dengan kepala menyandar di senderan kursi dan tangan terikat kebelakang persis denganku. Pelan pelan kepalanya terangkat saat aku menatapnya, dari mulutnya yang berlumuran darah seakan ia ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Tapi tiba-tiba sekeliling ruangan gelap gulita. Rupanya sengaja lampu dipadamkan.
Oh Tuhan!
“Yuki....Yuki...”! Aku memanggil manggil namanya perlahan tapi jelas ditengah keheningan ruangan.
Tidak ada respon.
“Yuki”!
Masih tidak ada respon.
“Bang...”.
“Bang...”.
Suara lemah dari sebrangku jelas terdengar.
Sekali lagi aku hampir lompat dari kursiku.
“Bang”.
“Yuki”
“Bang”.
“Bang...bang, bangun lah.... pemalas”.
“Kerja ga hari ini, udah jam tujuh tahu”.
Sesosok wajah yang aku kenal terlihat jelas saat aku terjaga dari mimpi burukku. Senyum nakal dengan lidah dijulurkan dan tangan yang memencet hidungku jelas sebuah kenyataan.
“Bang, abang kenapa”?
“Abang sakit”?
Diam tak kusahuti. Dalam kondisi seperti ini kembali kekanak-kanakan-ku muncul. Kolokan!
Tawaran minum kopi setelah acara makan malam di restoran yang romantis sebagai acara kencan pertama dengan seorang perempuan kemudian mengantarnya pulang ke apartmentnya yang ia tinggali sendiri adalah scene klise untuk undangan bercinta dalam film-film drama percintaan ala Hollywood.
Aku tidak mau memaksakan sesuatu yang pada akhirnya akan membuat aku kecewa disuatu saat nanti jika ternyata perkiraanku meleset dan jika kenyataaanya tidak sesuai dengan pengharapanku. Paling tidak tip ini aku sudah berkali-kali aku terapkan kepada seseorang yang aku baru kenal sehingga sejelek apapun yang kualami adalah sebagai pilihan alam saja dan tidak patut disesali maupun membuatku marah dengan orang lain maupun diri sendiri.
Suasana Manut Nite sudah lenggang ketika aku dan Yuki tiba. Hanya beberapa meja yang terisi dengan segerombolan mahasiswa insomania yang kelihatannya saling berkirim sms satu sama lainnya karena masing masing sibuk dengan hp di tangannya masing masing dan tak banyak yang mereka bicarakan. Sampai aku menulis blog ini aku masih penasaran dengan nama warkop yang satu ini, kenapa disebut “Manut Nite” sampai-sampai aku google-ing apa arti dari “Manut” tapi yang keluar hanya seputar cerita-cerita blogger tentang memori mereka di Manut Nite, ada sekitar 1.520 hits dalam 31 detik pencarian “Manut Nite” tapi tidak dari arti kata Manut itu sendiri. Dan sampai sekarang aku hanya mengira kalo “Manut” berarti menuruti perintah. Seperti penggalan kata “aku manut saja”, berarti aku setuju atau menyerah dan melakukan yang orang lain setujui.
Segelas tinggi Kopi Aceh yang aku pesan masih panas diujung lidah dan aku hampir menyemburkannya dari mulutku sambil aku sedikit menyumpah serapah karena selain panas kopinya sangat manis. Aku lupa memberitahu pelayannya untuk hanya menuangkan sedikit gula kedalam kopiku. Yuki seketika menertawakanku sembari menyeruput Kopi Toraja yang ia pesan. Sepertinya lidahnya sudah kebal dengan panas dan sepertinya sangat menikmati manisnya kopi yang lebih pantas aku sebut “sirop kopi” karena terlalu manis rasanya.
“Maaf mas kami sudah mau tutup”, seorang pelayan tanpa rasa bersalah menyodorkan bon pembayaran. Seketika darahku naik ke ujung ubun-ubunku. Untuk Yuki segera menengahi dan ia segera memberikan selembar uang lima-ribuan kepada si mas yang sok innocent itu. Ingin aku tumpahkan kopi aceh panasku ke muka si mas tadi, gimanapun juga aku sekarang di Manut Nite adalah karena pengorbananku untuk bisa berdua dengan Yuki dan mengenalnya lebih jauh.
Kopi Acehku tak sempat aku sentuh lagi. Kulihat Kopi Toraja yang Yuki order baru seperempatnya ia minum ketika kami meninggalkan Manut Nite. Mioku secepat melesat lebih agresif ketimbang sewaktu menuju ke Manut Nite, dan sebuah rangkulan erat kurasa dipinggang. Sekali lagi hangat nafas itu kambali terasa dikuping bagian belakangku dan kudengar ia bergumam hampir tak terdengar.
“Easy Bro”.
Klebengan – Selokan – Jakal. Kuberhentikan Mioku di tukang rokok dekat apotik K24 di KM5 Jakal.
“Mau ngapain bro”
“Beli Rokok”.
“Titip Malbor Merah ya”.
Lima menit berlalu.
“Apa itu”? Yuki keheranan melihatku menenteng kresek hitam.
“Cerewet”, kataku sedikit membentak dia.
Kelihatannya beberapa kejadian yang sangat emosional teleh membawaku kepada titik emosi yang membuat aku ingin sedikit memberikan kompensasi terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan yang aku alami malam ini. Dua botol vodka murahan yang berkedok kios rokok 24 jam itu paling tidak terkenal seantero anak-anak Jakal dan sekitarnya memerlukan sedikit kesenangan dimalam hari.
“Kita mau kemana”?
“Jangan cerewet”! Sekali lagi aku dengan sedikit nada tinggi mengacuhkan dia sambi aku berikan kresek hitam untuk dia bawa.Tanpa berani angkat bicara lagi Yuki kembali duduk di belakangku.
“Gila”! Hanya itu yang aku dengar. Aku tidak yakin apakah maksud dia dengan kelakuanku atau dengan belanjaanku ketika dia sadar bahwa dia tengah menenteng dua botol kecil vodka.
Tidak sampai lima menit. Aku segera memasukan Mioku ke garasi dan Yuki segera menyadari kalau aku membawanya kerumahku.
“Masuk”! Perintahku kepada Yuki yang terlihat masih ragu antara masuk dan tidak.
“Copot dan simpan sepatumu disitu”. Ujarku lagi sambil menunjuk ke arah rak sepatu di garasi motor.
Yuki segera mengekor dibelakangku. Kebetulan garasiku connecting dengan dapur, segera kuambil dua kaleng Ginger Ale yang selalu sedia di kulkasku, segelas es batu dari freezer dan dua gelas kosong.
“Bang, pinjemi aku kaos dong”. Masih dengan rambut yang basah Yuki menghampiriku selepas dia mandi, sekarang dia nampak lebih segar.
“Ambil aja di lemariku sana”.
“Yang mana bang”? Teriaknya ladi dari dalam kamarku.
Aku paling benci orang teriak-teriak dirumahku apalagi ini sudah larut malam. Segera aku berlari kecil menghampiri dia dikamarku.
“Kaos abang bagus-bagus, aku cuma mau yg jelek buat tidur”.
Segera kupilih kaos usang yang tipis biasa aku pakai untuk tidur.
“Berdiri”. Perintahku. Dia menurut.
“Angkat tangannya”. Bak anak kecil yang dipakaikan baju oleh mama-nya Yuki “manut” saja tatkala kupakaikan kaos kebadannya yang masih “boyish” paling tidak segelas Ginger-Ale-Vodka masih belum mengaburkan pandangan mataku dari penglihatanku saat itu.
Ku-kucek-kucek rambutnya yang masih basah.
“Keringkan lagi tuh rambutmu, nanti bau apek” kataku lagi sambil segera meninggalkan dia yang masih berpatung didepan lemari bajuku yang masih terbuka.
Segera kukembali ke ruang tamu dan melanjutkan nonton tv. Kutuang lagi segenggam es batu kedalam gelas minumanku yang sudah kosong, seperempat vodka dan setengah gelas ginger-ale. Kusulut lagi batang rokok dan kemudian aku baru menyadari kalau ternyata aku masih meyisakan setengah batang rokok yang tengah menyala sebelum aku memakaikan kaos ke Yuki. Dan aku juga baru sadar kalau pendengaranku masih waras kalau Yuki manggil abang, bukan manggil mas karena ini di Jogja ataupun manggil “bro”.
Sepuluh menit berlalu. Gelas kedua ginger-ale-vodka-ku baru saja menyisakan es batu didasar gelas yang minta diisi lagi. Rokok terakhir yang aku hisap hampir saja membakar jariku dan menumpahkan abu rokok di kursi yang aku duduki. Yuki belum juga menyusulku kedepan TV. Segera kulempar puntung rokok ke asbak tanpa aku mematikannya dulu kemudian aku masuk ke kamarku untuk mengecek keadaan Yuki. Aku pikir dia masih sibuk mengeringkan rambutnya makanya kenapa ia tidak menyusulku kedepan TV dan bergabung dengan pesta kecilku.
Kulihat sesorang tidur diatas kasurku. Paling tidak itu yang aku lihat. Matanya setengah terpejam tandaia baru saja telelap. Nafas yang dalam dan pendek terdengar berat ditelingaku. Tangan kiri masih menggengam handphone sementara tangan kanan diatas perut dibawah kaos yang tersingkap sedikit keatas menyisakan gurat bulu bulu harus ditengah perut. Jelas terlihat, terlihat jelas!
Tigapuluh menit berlalu. Trans TV telah mengumandangkan lagu closing, pertanda siaran segera berhenti. Sebotol vodka, dua kaleng ginger-ale, segelas es batu sudah masuk kedalam perutku.
Mataku mulai berat.
Jagalah aku wahai malaikat malam.
Bawalah aku kelangit ketujuh.
Tidurkan aku diatas awan yang lembut.
Sehingga aku bisa melihat sejuta bintang.
Dan melihat jauh kebawah.
Melihat ia tertidur pulas diatas ranjangku.
Bagai seorang bocah ingusan yang innocent.
Tanpa beban, tanpa masalah hidup...
Aku pikir aku akan lebih baik jika membuat novel sejenis. Andai aku ada saat temu wicara dengan penulisnya, pasti akan kubantai habis dia. Sayangnya talk show yang diorganisir oleh radio swaragama telah lewat saat aku membeli novel itu. Dan Yuki yang memberitahukannya ke aku saat aku pertama kali kenal dia di Rumah Kopi.
Jam 12 lewat tengah malam, saat aku telah melahap ratusan rss feed yang aku download kedalam thunderbird-ku jika aku berada dalam zona hotspot gratisan. Mulai dari aksi demo yang tak berkesudahan tentang kenaikan BBM sampai dengan infotaintment yang membicarakan kehidupan pribadi selebritis yang sudah jarang nongol di media electronic supaya tetap eksis dalam kancah selebritis Indonesia. Tak ada berita yang bermutu! Semua media di negeri ini sepertinya sekali lagi berniat menyeragamkan pendapat dan pemikiran yang stereotipe tentang semua yang tengah berlangsung di negeri ini. Rasa kantuk mulai menyerangku tapi kandung kemih yang bereaksi sedari tadi mengharuskana aku ber-ingsut dari tempat tidur kemudian melaksanakan menuju kamar mandi yang terletak diluar kamar menuju dapur.
"Kling-Klong",iPhoneku berbunyi berbarengan dengan layar yang menyala tanda ada sms baru masuk.
"bro...", sepenggal kata tercetak dilayar preview sms.
"close - Reply". Sejenak aku diam. Antara pilihan menutup dan membalas sms tadi.
Bukannya aku malas membalas sms yang menurutku gak penting saat itu atau pelit pulsa, toh aku sama dia memakai nomor three yang menggratiskan sms sesama pengguna three. Tapi karena yang kirim smsku adalah pahlawan anime-ku yang tidak menjadi pahlawanku untuk ice-capucinoku tadi di Rumah Kopi.
"Napa", akhirnya telunjukku meng-klik reply. Jeda berselang 10 detik. "Gpp, sori ya tadi". Aku diam tak membalasnya. Sengaja.
"Koq gak balas", lanjutnya. "udah mau tidur", balasku.
"Gw gy bt nih, ngopi yuk".
"What"! Apa nggak salah nih anak ngajak ngopi sementara waktu sudah menjelang jam 1 dinihari, pikirku dalam hati.
"udah tidur ya bro, sori kalo ganggu kalo ga mau gw mau balik aja".
Aku scroll-up iPhoneku dan tekan "call", segera RBT sepotong lagu Ungu terdengar diujung sana. Segera sebuah suara yang tak asing terdengar di telingaku.
"Mau ga bro, sori kalo gue ganggu lo".
"Mau ngopi dimana".
"Manut nite".
"Wah, males kejauhan".
"Habis mau dimana"?
"Di Sugeng Rawuh aja, Km5".
"Tapi disana rame banget bro".
"Yowes, Manut Nite. 15 Menit ketemu disana".
"Lho aku ga ada motor eh, bisa jemput aku disini"?
"Asu"! umpatku dalam hati. Sudah ngebete-in, ngajak ngopi saat aku mau tidur, dan sekarang minta dijemput pula.
"OK lah". "Tunggu 5 menit disitu".
Segera kututup screen notebook-ku yang telah ku-set-up jika ditutup akan menutup semua aplikasi yang terbuka dan shout-down sistem dengan sempurna. Mio putihku segera melesat kearah utara jalan kaliurang melewati lampu merah ring rod utara dan segera menepi saat seseorang berdiri dengan memakai jean potlot hitam dan kaos polo berwarna hijau menyala serta bagpack berwarna hitam berukuran besar sehingga badannya semakin terlihat kecil.
Dinginnya angin malam menusuk kesela sela tengkuk dan leherku meski aku sudah memakai jumper hangatku. Jalur roda dua ring road utara kearah Gejayan lenggang. Tidak ada satupun kendaraan lain selain aku. Kupacu Mio Putihku full-gas melesat membelah keheningan malam. Seketika sebuah pelukan melingkar erat dipinggangku dan kedua belah paha dan tubuh dia merapat kebadanku.
"Anjing, racer juga lo ya". Urnya menggumam dari mulutnya yang hampir menempel dikupingku sehingga aku bisa merasakan hangat hembusan nafasnya.
[i]to be continued[/i]
lotta loves from,
translate this page
Blog Archive
-
►
2016
(1)
- ► December 2016 (1)
-
►
2014
(1)
- ► October 2014 (1)
-
►
2013
(1)
- ► December 2013 (1)
-
►
2011
(4)
- ► October 2011 (1)
- ► February 2011 (2)
-
►
2010
(30)
- ► November 2010 (5)
- ► October 2010 (3)
- ► April 2010 (4)
- ► March 2010 (4)
- ► February 2010 (2)
- ► January 2010 (3)
-
►
2009
(199)
- ► December 2009 (3)
- ► November 2009 (32)
- ► October 2009 (52)
- ► September 2009 (10)
- ► August 2009 (27)
- ► April 2009 (1)
- ► March 2009 (3)
- ► February 2009 (8)
- ► January 2009 (5)
-
▼
2008
(86)
- ► November 2008 (5)
- ► October 2008 (9)
- ► September 2008 (3)
- ► August 2008 (4)
- ► March 2008 (10)
- ► February 2008 (19)
- ► January 2008 (2)
-
►
2007
(89)
- ► December 2007 (4)
- ► November 2007 (5)
- ► October 2007 (43)
- ► September 2007 (23)
- ► August 2007 (10)
- ► January 2007 (3)