Sunday, June 15, 2008


Sampai kapan aku bisa bertahan dengan perasaan ini
aku menunggumu, bahkan sampai saat ini..
berharap kau datang dan PULANG kembali Ke pelukanku..

Entah kapan aku benar-benar bisa melepaskanmu,
melupakanmu seperti kau begitu mudah meninggalkanku...

aku begitu tersiksa dengan cinta ini
kebencian dan Luka yang semakin perih bahkan tak mampu memaksaku melupakanmu..

Sosokmu hadir menjadi bayangan yang begitu nyata,
namun tak dapat kusentuh..
hadir di setiap sudut ruang gerakku
muncul di setiap detik yang berlalu..
bahkan di saat aku ingin membuang semua cerita tentangmu...

Kapan kau kembali Cintaku..??
Kapan kau akan PULANG ke rumah Hatiku??
dimanapun kau berada, PULANGlah

Tuesday, June 10, 2008

Tidak akan pernah lagi aku membeli Dunkin Donut “take-away” kecuali bawa rantang sendiri. Tapi apa “kata apa dunia”?

Pergi ke Mekah tapi tidak ke Madinah adalah ungkapan jika anda penyuka sunset di pantai Kuta tapi belum lihat sunrise di Sanur. So, dalam kunjungan terakhirku ke Bali akhir Mei 2008, bangun jam lima pagi dari Arthawan Hostel yang berlokasi di Poppy Lane 2 (red. Gang Popi) yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari “zero ground” tempat diledakkannya bom bali, aku dan Stephan bergegas melaju dengan sepeda motor sewaan kearah Sanur. Udara pagi buta masih menyisakan temperatur yang kurang bersahabat ditambah dengan angin kencang dari arah laut.

Maka untung menghangatkan badan dan mengisi perut yang masih kosong ketika sampai di perempatan lampu merah yang membelok kearah pantai matahari terbit kami berhenti di Dunkin Donut pas di pojokan kiri jalan.

Segera kami memesan:
2 Double Cokelat
1 Black Coffee
1 Hot Cokelat
2 Beef Croissant

Karena kami tidak mau ketinggalan moment2 terindah pada saat matahari menyembul dari dasar laut maka kami minta semua orderan dibungkus (red. Take away). Lagipula akupikir rasanya akan terasa lebih emosional menikmati early breakfast a la hotel bintnag “kejora” diatas pasir pinggir pantai dengan semilir angin dan debur ombak serta pemandangan yang fenomenal.

Beef Croissant. Dipotong dua kemudian dimasukan kedalam sejenis cone terbuat dari kertas karton yang keras sehingga tetap menjaga keutuhan bentuk croissant yang meruncing kearah sisinya, kemudian dua potongan tadi dimasukan kedalam kardus saling berhadapan dengan presentasi yang aduhai. Dua kardus tentunya.

Black Coffee dan Hot Cokelat. Masing masing dengan gelas yang terbuat dari karton berbalut plastik dibagian dalamnya serta ditutup dengan cap plastik. Memang benar untuk menjaga supaya tetap hangat dan tidak menetes keluar gelas tadi. Empat sachet gula “rafinasi” untuk melengkapi rasa minuman yang kami order. Oh ya, hampir lupa. Dua sendok kecil lurus yang mirip cukilan korek kuping juga disertakan.

2 Donut Double Cokelat dibungkus kertas standar Dunkin.

Semua orderan tertata rapi dan semua dimasukan kedalam shopping bag berlogo Dunkin yang lebih mirip dengan shopping bag yang biasa diberikan jika kita membeli sepatu mahal. Berbentuk persegi semi transparan dengan handle berpita lebar.

Lengkaplah sudah! Total Rp. 80.000++. What! Keningku berkerut, naluri ndesoku (red. Pelitku) sangat tidak bisa menerima bahwa hanya untuk jajan segitu saja harus merogoh kocek sebegitu banyak. Tapi sudahlah! Aku anggap peristiwa ini sebagai celebration a la “Piala Euro” hanya dirayakan setiap empat tahun sekali yang bisa meredam emosi rakyat Indonesia sesaat yang mampu melupakan seketika gejolak “carut-marut-kondisi-politik-dalam-negeri” saat ini, jadi aku juga harus merayakannya apalagi bersama Stephan yang memang asli buatan Jerman.VIVA!

A total sanur morning ritual
A beatiful sunrise
A clear blue water
A clean golden beach
A morning breeze
A good crowd
A super early breakfast
A good companion
A Rp. 80K dunkin garbage

lotta loves from,

andai aku mempunyai senapan laras panjang berlaras dua. akan kumasukan dua butir peluru yang biasa orang pergi berburu babi liar pengganggu ladang petani. lalu kutembakkan senapan itu dari jarak satu meter supaya otaknya berhambur keluar dari tempurung kepalanya dan bercipratan menyiram mukaku bercampur bau amis darah segar.



lotta loves from,
Sunday, June 08, 2008

Mimpi buruk itu kembali lagi

“Braak....”! Bunyi pintu didobrak paksa membangunkan aku seketika. Belum lagi tersadar dari apa yang tengah terjadi sebuah sorot senter berwarna putih yang membutakan mataku mengarah kemukaku.

“Cepat pakai baju”! Seseorang dengan nada dingin pelan tapi penuh ancaman memerintahkan aku segera berpakaian. Setidaknya ada tiga atau lima orang berpakaian didalam kamarku yang minim dengan cahaya lampu malam terlihat berpakaian ala teroris dengan tutup kepala yang terbuat dari bahan kaos yang hanya menyisakan lubang mata dan lubang hidung menutupi sampai kebatas leher.

Seketika aku membeku. Jangankan mengambil pakaian yang tergantung rapi di balik pintu kamarku, bangkit dari tempat tidurpun aku tak ada tenaga. Seluruh otot tubuhku tiba-tiba tak bisa digerakkan. Otakku tak bisa bekerja. Kornea mataku buta. Mulutku terkunci rapat.

Sepasang tangan kokoh menyeretku dari tempat tidur. Kukumpulkan segenap tenaga yang tersisa untuk melawan. Namun sia-sia. Tenaga orang itu terlalu kuat untukku. Tubuhku terjerembab keatas lantai keramik putih. Tiba tiba sebuah tendangan sepatu boot mendarat di dadaku. Sekali lagi sepasang tangan kuat itu menarik kedua tanganku sehingga posisiku setengah berdiri sedikit bersandar ke badan dia. Kemudian pandanganku kabur dan gelap. Bukan karena aku pingsan karena indra pendengaranku masih bekerja tapi ada orang lain yang menutupi kepalaku sampai sebatas dada mungkin dengan selimutku. Tubuhku diangkatnya dan diletakkan diatas pundak orang yang tadi aku sempat bersender. Badanku serasa melayang di udara. Kakiku meronta sekuat tenaga. Tapi sia sia.

Yang kulakukan selebihnya diam tidak bergerak. Berpura-pura pingsan adalah jalan terbaik ketimbang melawan untuk kondisi saat ini. Badanku dihempaskan keatas jok mobil yang sudah dalam keadaan mesinnya tidak dimatikan ini terasa dari ac mobilnya yang sangat dingin masuk melalui seluruh pori-poriku terasa menyayat kulit. Kuusahakan supaya badanku tidak mengigil yang menandakan kalau aku sebenarnya tidak pingsan. Untung selimut yang menutupi muka dan bagian atas tubuhku sekarang menutupi sampai dengan bagian pahaku sehingga paling tidak menolongku dari hembusan hawa dingin ac mobil. Aku kumpulkan semua akal sehatku sebelum aku kumpulkan pelan pelan tenagaku yang mulai ada. Beberapa saat terasa mobil berputar-putar dengan kecepatan pelan, beberapa kali mobil berguncang karena harus melintas diatas polisi tidur di gang seputaran pemukiman kemudian mobil berhenti sebentar dua tiga empat lima detik mobil bergerak dengan mengeluarkan suara ban berdecit yang bersentuhan dengan aspal dan badanku sedikit terhempas kebelakang karena mobil dipacu dengan kecepatan yang sangat responsif. Duapuluh detik kemudian mobil membelok kearah kiri tajam masih dengan kecepatan tingggi untuk sebuah belokan yang aku asumsikan persimpangan jalan.

Menghitung detik dan belokan serta mengira-ngira kemana mereka membawaku paling tidak hanya itu yang aku bisa perbuat saat itu. Kira-kira lebih dari sepuluh menit mobil melaju dalam kecepatan tinggi, kemudian kecepatan menurun dan sekarang mobil belok menikung kearah kiri. Hembusan dingin angin malam hari berhembus sedikit menyingkapkan selimut yang menutupi mukaku yang dibarengi dengan kepulan asap rokok keretek yang sangat kuat dari orang sebelah kananku yang selama ini selalu memegangi selimut yang menutupi mukaku. Rupanya ia tidak tahan kalau tidak merokok. Pelan pelan aku picingkan mataku diantara gelapnya kabin mobil dan aku bisa melihat sedikit ada empat orang didalam mobil. Seorang sopir, seorang duduk disebelahnya dan dua orang mengapitku kiri dan kanan. Jalanan yang sempit dengan pepohonan yang padat di kiri-kanan jalan yang tidak beraspal dan sedikit berbatu dapat aku rasakan dari guncangannya. Sorot lampu mobil lain dari arah belakang yang sangat berdekatan tiba tiba sedikit menyinari mukaku dari refleksi kaca pandang sopir yang tepat menempel dikaca depan mobil bagian tengah. Rupanya mobil yang membawaku sejenis sedan buatan eropa dengan kabin yang terasa sedikit sempit dibanding dengan mobil eropa lain yang mengutamakan kenyamanan berkendara. Dan rupanya mereka terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok mereka yang ada didalam mobil yang membawaku dan satu lagi adalah mobil yang ada di belakang tadi, sejenis jeep atau lainnya yang lebih tinggi ground-clearance-nya karena sorot lampunya yang tinggi dan sangat menyilaukan mata. Cepat cepat aku tutup rapat kelopak mataku sebelum ada yang menyadarinya kalau aku sebenarnya hanya berpura-pura.


Sekali lagi aku picingkan mataku saat mobil berhenti. Sebuah kentungan berwarna merah dengan bentuk cabe merah sebesar badan anak kecil menggantung diujung teras, jelas terlihat oleh sorot lampu mobil. Sebuah rumah joglo tua yang besar dengan bagunan yan lainnya yang lebih kecil bercat putih disebelah kirinya tertangkap jelas dalam hitungan satu detik sebelum orang yang duduk sebelah kananku menutup kembali selimut yang sempat tersingkap. Dia masih berfikir aku masih pingsan.


Bagai sebuah bantal bulu angsa yang ringan, kembali badanku diangkat keatas pundaknya. Kemudan setengah dihempaskan tubuhku didudukan diatas kursi kayu dengan sandaran punggung yang cukup tinggi dan sehingga membentur kepala bagian belakangku. Seketika sekeliling kepalaku dipenuhi oleh bintang-bintang kecil dan kunang-kunang yang berterbrangan. Kedua tanganku dilingkarkan kebelakang dan diikat seutas tali kecil yang kuat tapi tidak terlalu menyakitkan hanya kuat. Mungkin semacam kabel telephone.


Selimut yang menutupi kepalaku dibuka. Pandangan mataku segera menyapu sekeliling ruangan, hanya dinging putih tanpa jendela yang hanya mempunyai satu pintu, cukup luas. Cahaya lampu yang sangat minim disertai kepalaku yang membentur senderan kursi masih meyisakan pandangan yang mampu aku rekam dalam otakku. Ada sosok tubuh lain setengah telanjang yang terkulai lemas dengan kepala menyandar di senderan kursi dan tangan terikat kebelakang persis denganku. Pelan pelan kepalanya terangkat saat aku menatapnya, dari mulutnya yang berlumuran darah seakan ia ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Tapi tiba-tiba sekeliling ruangan gelap gulita. Rupanya sengaja lampu dipadamkan.

Hening. Tidak ada gerakan maupun suara dari sosok didepanku tadi, yang kudengar hanya nafasku yang berat menahan hawa dingin dan nyeri yang sekarang makin terasa menyesakkan akibat tendangan sepatu boot tadi. Tapi beserta itu pula aku mulai lagi mengumpulkan pikiran dan tenaga yang tersisa untuk melawan! Tapi aku yakin ada orang lain di ruangan gelap ini.

Yuki!

Oh Tuhan!

Seketika aku hampir terlompat dari tempatku. Ya. Ingatanku mulai flash-back ke saat aku dibius oleh Ginger-Ale-Vodka-ku yang aku minum sendiri, saat aku beranjak mau tidur dan yuki telah tertidur duluan dengan hp masih di tangan.


“Yuki....Yuki...”! Aku memanggil manggil namanya perlahan tapi jelas ditengah keheningan ruangan.

Tidak ada respon.

“Yuki”!

Masih tidak ada respon.

“Bang...”.

“Bang...”.

Suara lemah dari sebrangku jelas terdengar.
Sekali lagi aku hampir lompat dari kursiku.

“Yuki”.

“Bang”.

“Yuki”

“Bang”.

Hanya sahut menyahut dalam suara yang lemah namun jelas terdengar. Seketika sorot cahaya menyilaukan mata menyorot kearahku.

Tidak mau bangun dari mimpi

“Bang...bang, bangun lah.... pemalas”.

“Kerja ga hari ini, udah jam tujuh tahu”.

Sesosok wajah yang aku kenal terlihat jelas saat aku terjaga dari mimpi burukku. Senyum nakal dengan lidah dijulurkan dan tangan yang memencet hidungku jelas sebuah kenyataan.

“Abang kenapa kayak lihat hantu aja”? Ujarnya keheranan melihatku. Aku sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana roman wajahku saat itu.

Segera tangannya merangkul tangannku dan segera menuntunku ke kamar mandi serta menyilangkan handuk di pundakku.

Dinginnya air yang mengguyur kepalaku tidak bisa menyingkirkan pengalaman mimpi burukku. Yang aku rasakan malahan dua ton batu bercokol di kepalaku akibat pengaruh vodka tadi malam ditambah dengan mimpi buruk itu. Ya! Selama hampir setahun ini aku sering bermimpi yang sama. Segerombolan orang-orang yang tidak aku kenal menculikku dari tidurku, hanya saja mimpi tadi malam ditambah seorang pelakon dengan hadirnya Yuki sebagai korban kedua. Apa artinya semua ini?

Sebutir Panadol Extra biasanya membantu membunuh sakit kepala akibat hang-over. Tapi tidak kali ini. Secangkir kopi hitam Sidikalang oleh-oleh dari Medan yang cukup “strong” juga tidak meringankan nyeri di bagian kepala belakang yang terasa beribu-ribu martil dipukulkan.

Kembali kurebahkan badanku ketas kasur yang masih berantakan. Kuraih handphone. Kucari sebuah nama dan kuketik sebuah pesan singkat.

“Bu, aku kurang enak badan, mungkin saya masuk kantor siangan atau kalau tidak membaik saya ijin sakit”. Send.


“Bang, abang kenapa”?

“Abang sakit”?

Diam.

Sebuah tangan mendarat di keningku. Tangan yang dingin seperti kompresan es. Jadi ingat ibuku kalau aku tidak mau pergi sekolah dan kembali ke tempat tidur pasti ia akan meletakkan tangannya persis seperti ini.


Diam tak kusahuti. Dalam kondisi seperti ini kembali kekanak-kanakan-ku muncul. Kolokan!

Sepasang tangan mulai mulai memijit lembut pundakku. Aku diam tak merespon. Aku tak ingin bergerak. Aku tak ingin membuka mata. Aku ingin tidur dan tidak terbangun dari kenyataan indah di pagi hari.



lotta loves from,

Tuesday, June 03, 2008
Tawaran minum kopi setelah acara makan malam di restoran yang romantis sebagai acara kencan pertama dengan seorang perempuan kemudian mengantarnya pulang ke apartmentnya yang ia tinggali sendiri adalah scene klise untuk undangan bercinta dalam film-film drama percintaan ala Hollywood.

Tapi ajakan minum kopi jam menjelang jam satu tengah malam di Manut Nite tidak membuat aku lantas mengasumsikan sebuah ajakan bercinta untukku meskipun aku menginginkannya. Kutepis segala bisikan setan dari kuping kiriku dan kupaksakan mendengarkan ajakan malaikat untuk tetap berfikir positif dan bertingkah layaknya seorang teman biasa.

Aku tidak mau memaksakan sesuatu yang pada akhirnya akan membuat aku kecewa disuatu saat nanti jika ternyata perkiraanku meleset dan jika kenyataaanya tidak sesuai dengan pengharapanku. Paling tidak tip ini aku sudah berkali-kali aku terapkan kepada seseorang yang aku baru kenal sehingga sejelek apapun yang kualami adalah sebagai pilihan alam saja dan tidak patut disesali maupun membuatku marah dengan orang lain maupun diri sendiri.

Suasana Manut Nite sudah lenggang ketika aku dan Yuki tiba. Hanya beberapa meja yang terisi dengan segerombolan mahasiswa insomania yang kelihatannya saling berkirim sms satu sama lainnya karena masing masing sibuk dengan hp di tangannya masing masing dan tak banyak yang mereka bicarakan. Sampai aku menulis blog ini aku masih penasaran dengan nama warkop yang satu ini, kenapa disebut “Manut Nite” sampai-sampai aku google-ing apa arti dari “Manut” tapi yang keluar hanya seputar cerita-cerita blogger tentang memori mereka di Manut Nite, ada sekitar 1.520 hits dalam 31 detik pencarian “Manut Nite” tapi tidak dari arti kata Manut itu sendiri. Dan sampai sekarang aku hanya mengira kalo “Manut” berarti menuruti perintah. Seperti penggalan kata “aku manut saja”, berarti aku setuju atau menyerah dan melakukan yang orang lain setujui.

Segelas tinggi Kopi Aceh yang aku pesan masih panas diujung lidah dan aku hampir menyemburkannya dari mulutku sambil aku sedikit menyumpah serapah karena selain panas kopinya sangat manis. Aku lupa memberitahu pelayannya untuk hanya menuangkan sedikit gula kedalam kopiku. Yuki seketika menertawakanku sembari menyeruput Kopi Toraja yang ia pesan. Sepertinya lidahnya sudah kebal dengan panas dan sepertinya sangat menikmati manisnya kopi yang lebih pantas aku sebut “sirop kopi” karena terlalu manis rasanya.

“Maaf mas kami sudah mau tutup”, seorang pelayan tanpa rasa bersalah menyodorkan bon pembayaran. Seketika darahku naik ke ujung ubun-ubunku. Untuk Yuki segera menengahi dan ia segera memberikan selembar uang lima-ribuan kepada si mas yang sok innocent itu. Ingin aku tumpahkan kopi aceh panasku ke muka si mas tadi, gimanapun juga aku sekarang di Manut Nite adalah karena pengorbananku untuk bisa berdua dengan Yuki dan mengenalnya lebih jauh.

Kopi Acehku tak sempat aku sentuh lagi. Kulihat Kopi Toraja yang Yuki order baru seperempatnya ia minum ketika kami meninggalkan Manut Nite. Mioku secepat melesat lebih agresif ketimbang sewaktu menuju ke Manut Nite, dan sebuah rangkulan erat kurasa dipinggang. Sekali lagi hangat nafas itu kambali terasa dikuping bagian belakangku dan kudengar ia bergumam hampir tak terdengar.

“Easy Bro”.

Klebengan – Selokan – Jakal. Kuberhentikan Mioku di tukang rokok dekat apotik K24 di KM5 Jakal.

“Mau ngapain bro”

“Beli Rokok”.

“Titip Malbor Merah ya”.

Lima menit berlalu.

“Apa itu”? Yuki keheranan melihatku menenteng kresek hitam.

“Cerewet”, kataku sedikit membentak dia.

Kelihatannya beberapa kejadian yang sangat emosional teleh membawaku kepada titik emosi yang membuat aku ingin sedikit memberikan kompensasi terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan yang aku alami malam ini. Dua botol vodka murahan yang berkedok kios rokok 24 jam itu paling tidak terkenal seantero anak-anak Jakal dan sekitarnya memerlukan sedikit kesenangan dimalam hari.

“Kita mau kemana”?

“Jangan cerewet”! Sekali lagi aku dengan sedikit nada tinggi mengacuhkan dia sambi aku berikan kresek hitam untuk dia bawa.Tanpa berani angkat bicara lagi Yuki kembali duduk di belakangku.

“Gila”! Hanya itu yang aku dengar. Aku tidak yakin apakah maksud dia dengan kelakuanku atau dengan belanjaanku ketika dia sadar bahwa dia tengah menenteng dua botol kecil vodka.

Tidak sampai lima menit. Aku segera memasukan Mioku ke garasi dan Yuki segera menyadari kalau aku membawanya kerumahku.

“Masuk”! Perintahku kepada Yuki yang terlihat masih ragu antara masuk dan tidak.

“Copot dan simpan sepatumu disitu”. Ujarku lagi sambil menunjuk ke arah rak sepatu di garasi motor.

Yuki segera mengekor dibelakangku. Kebetulan garasiku connecting dengan dapur, segera kuambil dua kaleng Ginger Ale yang selalu sedia di kulkasku, segelas es batu dari freezer dan dua gelas kosong.

“Bang, pinjemi aku kaos dong”. Masih dengan rambut yang basah Yuki menghampiriku selepas dia mandi, sekarang dia nampak lebih segar.

“Ambil aja di lemariku sana”.

“Yang mana bang”? Teriaknya ladi dari dalam kamarku.

Aku paling benci orang teriak-teriak dirumahku apalagi ini sudah larut malam. Segera aku berlari kecil menghampiri dia dikamarku.

“Kaos abang bagus-bagus, aku cuma mau yg jelek buat tidur”.

Segera kupilih kaos usang yang tipis biasa aku pakai untuk tidur.

“Berdiri”. Perintahku. Dia menurut.

“Angkat tangannya”. Bak anak kecil yang dipakaikan baju oleh mama-nya Yuki “manut” saja tatkala kupakaikan kaos kebadannya yang masih “boyish” paling tidak segelas Ginger-Ale-Vodka masih belum mengaburkan pandangan mataku dari penglihatanku saat itu.

Ku-kucek-kucek rambutnya yang masih basah.

“Keringkan lagi tuh rambutmu, nanti bau apek” kataku lagi sambil segera meninggalkan dia yang masih berpatung didepan lemari bajuku yang masih terbuka.

Segera kukembali ke ruang tamu dan melanjutkan nonton tv. Kutuang lagi segenggam es batu kedalam gelas minumanku yang sudah kosong, seperempat vodka dan setengah gelas ginger-ale. Kusulut lagi batang rokok dan kemudian aku baru menyadari kalau ternyata aku masih meyisakan setengah batang rokok yang tengah menyala sebelum aku memakaikan kaos ke Yuki. Dan aku juga baru sadar kalau pendengaranku masih waras kalau Yuki manggil abang, bukan manggil mas karena ini di Jogja ataupun manggil “bro”.

Sepuluh menit berlalu. Gelas kedua ginger-ale-vodka-ku baru saja menyisakan es batu didasar gelas yang minta diisi lagi. Rokok terakhir yang aku hisap hampir saja membakar jariku dan menumpahkan abu rokok di kursi yang aku duduki. Yuki belum juga menyusulku kedepan TV. Segera kulempar puntung rokok ke asbak tanpa aku mematikannya dulu kemudian aku masuk ke kamarku untuk mengecek keadaan Yuki. Aku pikir dia masih sibuk mengeringkan rambutnya makanya kenapa ia tidak menyusulku kedepan TV dan bergabung dengan pesta kecilku.

Kulihat sesorang tidur diatas kasurku. Paling tidak itu yang aku lihat. Matanya setengah terpejam tandaia baru saja telelap. Nafas yang dalam dan pendek terdengar berat ditelingaku. Tangan kiri masih menggengam handphone sementara tangan kanan diatas perut dibawah kaos yang tersingkap sedikit keatas menyisakan gurat bulu bulu harus ditengah perut. Jelas terlihat, terlihat jelas!

Tigapuluh menit berlalu. Trans TV telah mengumandangkan lagu closing, pertanda siaran segera berhenti. Sebotol vodka, dua kaleng ginger-ale, segelas es batu sudah masuk kedalam perutku.

Mataku mulai berat.

Tapi aku tak ingin malam cepat berlalu.


Jagalah aku wahai malaikat malam.
Bawalah aku kelangit ketujuh.
Tidurkan aku diatas awan yang lembut.
Sehingga aku bisa melihat sejuta bintang.
Dan melihat jauh kebawah.
Melihat ia tertidur pulas diatas ranjangku.
Bagai seorang bocah ingusan yang innocent.
Tanpa beban, tanpa masalah hidup...

lotta loves from,
Sunday, June 01, 2008
Kulempar novel berjudul sex in chatting yang baru beberapa hari aku beli keatas kasur. Agak sedikit membosankan dengan alur yang tidak masuk akal. Mungkin si penulis hendaknya kurus dulu di kepolisian bagaimana seharusnya menjadi seorang intel yang ahli dalam forensik cyber crime, sebelumia menulis novelnya ini.

Aku pikir aku akan lebih baik jika membuat novel sejenis.
Andai aku ada saat temu wicara dengan penulisnya, pasti akan kubantai habis dia. Sayangnya talk show yang diorganisir oleh radio swaragama telah lewat saat aku membeli novel itu. Dan Yuki yang memberitahukannya ke aku saat aku pertama kali kenal dia di Rumah Kopi.

Jam 12 lewat tengah malam, saat aku telah melahap ratusan rss feed yang aku download kedalam thunderbird-ku jika aku berada dalam zona hotspot gratisan. Mulai dari aksi demo yang tak berkesudahan tentang kenaikan BBM sampai dengan infotaintment yang membicarakan kehidupan pribadi selebritis yang sudah jarang nongol di media electronic supaya tetap eksis dalam kancah selebritis Indonesia. Tak ada berita yang bermutu! Semua media di negeri ini sepertinya sekali lagi berniat menyeragamkan pendapat dan pemikiran yang stereotipe tentang semua yang tengah berlangsung di negeri ini. Rasa kantuk mulai menyerangku tapi kandung kemih yang bereaksi sedari tadi mengharuskana aku ber-ingsut dari tempat tidur kemudian melaksanakan menuju kamar mandi yang terletak diluar kamar menuju dapur.

"Kling-Klong",iPhoneku berbunyi berbarengan dengan layar yang menyala tanda ada sms baru masuk.

"bro...", sepenggal kata tercetak dilayar preview sms.
"close - Reply".
Sejenak aku diam. Antara pilihan menutup dan membalas sms tadi.

Bukannya aku malas membalas sms yang menurutku gak penting saat itu atau pelit pulsa, toh aku sama dia memakai nomor three yang menggratiskan sms sesama pengguna three. Tapi karena yang kirim smsku adalah pahlawan anime-ku yang tidak menjadi pahlawanku untuk ice-capucinoku tadi di Rumah Kopi.


"Napa", akhirnya telunjukku meng-klik reply. Jeda berselang 10 detik. "Gpp, sori ya tadi". Aku diam tak membalasnya. Sengaja.
"Koq gak balas", lanjutnya.
"udah mau tidur", balasku.
"Gw gy bt nih, ngopi yuk".

"What"! Apa nggak salah nih anak ngajak ngopi sementara waktu sudah menjelang jam 1 dinihari, pikirku dalam hati.

"udah tidur ya bro, sori kalo ganggu kalo ga mau gw mau balik aja".


Aku scroll-up iPhoneku dan tekan "call", segera RBT sepotong lagu Ungu terdengar diujung sana. Segera sebuah suara yang tak asing terdengar di telingaku.


"Mau ga bro, sori kalo gue ganggu lo".

"Mau ngopi dimana".

"Manut nite".
"Wah, males kejauhan".

"Habis mau dimana"?
"Di Sugeng Rawuh aja, Km5".

"Tapi disana rame banget bro".

"Yowes, Manut Nite. 15 Menit ketemu disana".

"Lho aku ga ada motor eh, bisa jemput aku disini"?
"Asu"! umpatku dalam hati. Sudah ngebete-in, ngajak ngopi saat aku mau
tidur, dan sekarang minta dijemput pula.
"OK lah".
"Tunggu 5 menit disitu".

Segera kututup screen notebook-ku yang telah ku-set-up jika ditutup akan menutup semua aplikasi yang terbuka dan shout-down sistem dengan sempurna. Mio putihku segera melesat kearah utara jalan kaliurang melewati lampu merah ring rod utara dan segera menepi saat seseorang berdiri dengan memakai jean potlot hitam dan kaos polo berwarna hijau menyala serta bagpack berwarna hitam berukuran besar sehingga badannya semakin terlihat kecil.

Dinginnya angin malam menusuk kesela sela tengkuk dan leherku meski aku sudah memakai jumper hangatku. Jalur roda dua ring road utara kearah Gejayan lenggang. Tidak ada satupun kendaraan lain selain aku. Kupacu Mio Putihku full-gas melesat membelah keheningan malam. Seketika sebuah pelukan melingkar erat dipinggangku dan kedua belah paha dan tubuh dia merapat kebadanku.

"Anjing, racer juga lo ya". Urnya menggumam dari mulutnya yang hampir menempel dikupingku sehingga aku bisa merasakan hangat hembusan nafasnya.



[i]to be continued[/i]


lotta loves from,

join me on